Halaman

Rabu, 03 Juli 2013

AWAL RAMADHAN 1434 H

AWAL RAMADHAN 1434 H
Habib Luthfy Imbau Umat Islam Tunggu Pemerintah
Habib Muhammad Luthfy bin Hasyim bin Ali bin Yahya, ulama asal Pekalongan, mengimbau umat Islam yang akan menjalani ibadah puasa tahun 1434 H untuk menunggu keputusan pemerintah.
Hal ini perlu disampaikan agar ummat tidak bingung mana yang harus diikuti untuk memulai ibadah puasa yang merupakan bagian dari rukun Islam.

Hal tersebut disampaikan Ahmad Tubagus Surur Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan usai menghadap Habib Luthfy Selasa (2/7) di kediamannya Pekalongan.
Dikatakan Habib Luthfy, sebagai ulil amri pemerintah tentu telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan pelayanan terbaiknya kepada ummat, termasuk pengaturan tata cara beribadah puasa yang memang ummat memiliki banyak keterbatasan termasuk keterbatasan untuk dapat melihat awal bulan.
PCNU Kota Pekalongan sendiri menurut Surur, juga telah melakukan berbagai persiapan antara lain mengumpulkan ta'mir masjid dan musholla se Kota Pekalongan yang berlangsung di Gedung Sholawat untuk diberi penjelasan seputar awal puasa.

Sedang kegiatan lain terkait dengan awal Romadlon, Lajnah Falakiyah akan membuka posko awal puasa di Gedung Aswaja Jalan Sriwijaya 2 Pekalongan hari Senin besok jam 17.00 - 21.00 untuk mempublikasikan hasil rukyatul hilal baik yang dilakukan oleh PCNU Kota Pekalongan, PWNU Jawa Tengah maupun oleh PBNU melalui website PCNU Kota Pekalongan di www.nubatik.net maupun melalui Radio Aswaja 107.8 FM.

Dalam penjelasan di hadapan pengurus ta'mir masjid dan musholla NU se Kota Pekaloan ngan, Wakil Rais PCNU Kota Pekalongan KH. Abdul Fattah Yasran mengatakan, secara teori posisi bulan tanggal 8 Juli 2013 masih di bawah ufuk dan jika ada beberapa kitab yang menerangkan sudah di atas ufuk namun posisisinya masih di bawah 2 derajat yang secara mata telanjang sulit untuk dapat dilakukan rukyat.
Atas dasar itu, menurut Kiyai Fattah, bulan Sya'ban dimungkinkan istikmal 30 hari dan puasa ramadlan jatuh pada hari Rabu 10 Juli 2013. Meskipun demikian, pihaknya meminta kepada ummat Islam untuk menunggu PBNU dan Pemerintah untuk kepastian awal ramadlan.

Senin, 24 Juni 2013

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan
Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.

Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.

Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:

“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”

Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan
Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.

Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.

Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:

“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”

Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.

Minggu, 23 Juni 2013

Kala Seorang Syekh Cemburu pada Tuhannya

Kala Seorang Syekh Cemburu pada Tuhannya
Syekh Abu Utsman Sai’d bin Ismail al-Hirri, seorang ulama sufi asal Naisabur, pernah memergoki seorang pemuda mabuk dalam sebuah perjalanan. Bersama kecapinya, pemuda nakal ini berjalan sempoyongan menyusuri jalanan.

Tahu bahwa Abu Utsman sedang menyaksikan tingkahnya, si pemuda segera merapikan rambut dan menyembunyikan kecapi kesayangannya. Entah karena khawatir akan berurusan dengan pihak berwajib atau sekadar rasa segan.

Abu Utsman segera menghampirinya. Pribadinya yang santun dan rendah hati menghapus segala rasa curiga dan takut pemuda mabuk itu. Abu Utsman menegaskan bahwa di antara mereka berdua adalah saudara.
Singkat cerita, si pemuda pun memutuskan hidup secara baru. Ia menyesali perbuatan masa lalunya dan menapaki jalan kebenaran sebagai murid Syekh Abu Utsman. Tobat si pemuda disambut Abu Utsman dengan memintanya mandi dan memberinya pakaian.

“Ya Allah, aku sudah melaksanakan kewajibanku. Selebihnya adalah urusan-Mu,” Abu Utsman bermunajat.
Abu Utsman betul-betul tak menyangka, sejenak kemudian, muridnya itu mendapat pengalaman mistik luar biasa. Suatu peristiwa rohani yang tak pernah ia alami sebelumnya. Sore harinya ia mengadu ke Syekh Abu Utsman al-Maghribi.

“Wahai Syekh, hatiku tengah terbakar api cemburu. Yang selama hidup kudambakan telah dilimpahkan kepada pemuda yang masih mengeluarkan bau anggur dari dalam perutnya ini. Maka kini aku pun mengerti bahwa manusia mampu berusaha tetapi Tuhan yang menentukan.”

Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Hikmah

Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Jasadnya memang sudah terkubur lebih dari delapan abad. Namun nama dan tauladan hidupnya tetap membekas kuat di kalangan umat Islam. Dialah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ulama sufi kelahiran Persia yang kemasyhurannya setingkat dunia.

Syekh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh
Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.

Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.

”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.

”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.

”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”

Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.

Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku.
Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”

”Mintalah tolong Kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.

Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.

Senin, 10 Juni 2013

Hubungan Tarekat dengan Merah Putih

Hubungan Tarekat dengan Merah Putih

Hubungannya gerakan Tarekat dengan Merah Putih yang menjadi cikal bakal bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilihat dari budaya mengibarkan merah putih atau membalut merah putih pada bagian atap rumah atau suhunan yag sering disebut juga dengan istilah bubungan.

Istilah suhunan dalam bahasa Indonesia sering kehilangan hu, menjadi Sunan. Para Wali juga bergelar Sunan atau Suhunan. Dengan bertolak dari Hadist Rosullullah saw. :“Innallaha zawaaliyal ardha masyariqahaa wa magharibahaa, wa’athaniil kanzainil ahmara wa abyadha- sesunguhnya Allah memperlihatkan bumi kepada timur dan baratnya. Allah memberi dua perbendaharaan kepadaku merah dan putih.” (HR. Muslim).

Bertolak dari ajaran ini, betapa besarnya makna dari merah putih. Sehingga dibudayakan di tengah rakyat agar setiap pembangunan rumah diajarkan untuk membalut bagian kerangka atapnya atau suhunannya dengan kain warna merah putih atau dikibarkan bendera merah putih. Dan juga dalam kegiatan selamatan terutama pada peringantan hari besar Islam menggunakan simbolisasi warna merah putih, meskipun hanya pada pewarnaan bubur.
Sumber : TQN Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya (Ponpes Suryalaya)

Ketika Gus Dur Salah Jalan

HUMOR

Ketika Gus Dur Salah Jalan
Saat berada Kudus, Jawa Tengah, budayawan Ahmad Sobari kepada wartawan mengisahkan dirinya pada waktu menemani Gus Dur menghadiri sebuah kegiatan. Sudah menjadi kegemaran Gus Dur, setiap kali  kunjungan ke daerah selalu menyempatkan berziarah ke makam tokoh maupun ulama setempat.
Pada masa Orde Baru, cerita Kang Sobari, Gus Dur sedang berkunjung sebuah daerah. Di tengah perjalanan, tanpa ada yang membisiki  tiba-tiba Gus Dur menyuruh sopir menghentikan mobilnya.

“Mau kemana Gus?” tanya sang sopir.

“Di daerah ini terdapat makam ulama besar, saya pingin berziarah ke sana,” jawab Gus Dur sambil 
menyuruh sopir berbelok arah menuju makam yang dimaksud.

Ketika sudah menempuh beberapa jam makam yang dimaksudkan tidak tampak di depan mata.

“Gus, mungkin kita salah jalan, disini tidak  terlihat (ada) makam,” tanya Kang Sobari.

“Coba maju  sebelah sana,” jawab Gus Dur menyuruh sopirnya.

Mobil pun melaju perlahan menuju arah yang ditunjukkan Gus Dur. Tetapi mereka belum juga menemukan makam yang dimaksud.

“Masih nggak ada (makam) Gus!” kata Kang Sobari.
Sambil tersenyum, Gus Dur pun berseloroh, “Oh ya sudah. Barangkali jalannya sudah dirubah oleh Orde Baru.”

Kang Sobari dan sopir-pun hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Gus Dur dengan canda.