Halaman

Rabu, 03 Juli 2013

AWAL RAMADHAN 1434 H

AWAL RAMADHAN 1434 H
Habib Luthfy Imbau Umat Islam Tunggu Pemerintah
Habib Muhammad Luthfy bin Hasyim bin Ali bin Yahya, ulama asal Pekalongan, mengimbau umat Islam yang akan menjalani ibadah puasa tahun 1434 H untuk menunggu keputusan pemerintah.
Hal ini perlu disampaikan agar ummat tidak bingung mana yang harus diikuti untuk memulai ibadah puasa yang merupakan bagian dari rukun Islam.

Hal tersebut disampaikan Ahmad Tubagus Surur Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Pekalongan usai menghadap Habib Luthfy Selasa (2/7) di kediamannya Pekalongan.
Dikatakan Habib Luthfy, sebagai ulil amri pemerintah tentu telah melakukan berbagai upaya untuk memberikan pelayanan terbaiknya kepada ummat, termasuk pengaturan tata cara beribadah puasa yang memang ummat memiliki banyak keterbatasan termasuk keterbatasan untuk dapat melihat awal bulan.
PCNU Kota Pekalongan sendiri menurut Surur, juga telah melakukan berbagai persiapan antara lain mengumpulkan ta'mir masjid dan musholla se Kota Pekalongan yang berlangsung di Gedung Sholawat untuk diberi penjelasan seputar awal puasa.

Sedang kegiatan lain terkait dengan awal Romadlon, Lajnah Falakiyah akan membuka posko awal puasa di Gedung Aswaja Jalan Sriwijaya 2 Pekalongan hari Senin besok jam 17.00 - 21.00 untuk mempublikasikan hasil rukyatul hilal baik yang dilakukan oleh PCNU Kota Pekalongan, PWNU Jawa Tengah maupun oleh PBNU melalui website PCNU Kota Pekalongan di www.nubatik.net maupun melalui Radio Aswaja 107.8 FM.

Dalam penjelasan di hadapan pengurus ta'mir masjid dan musholla NU se Kota Pekaloan ngan, Wakil Rais PCNU Kota Pekalongan KH. Abdul Fattah Yasran mengatakan, secara teori posisi bulan tanggal 8 Juli 2013 masih di bawah ufuk dan jika ada beberapa kitab yang menerangkan sudah di atas ufuk namun posisisinya masih di bawah 2 derajat yang secara mata telanjang sulit untuk dapat dilakukan rukyat.
Atas dasar itu, menurut Kiyai Fattah, bulan Sya'ban dimungkinkan istikmal 30 hari dan puasa ramadlan jatuh pada hari Rabu 10 Juli 2013. Meskipun demikian, pihaknya meminta kepada ummat Islam untuk menunggu PBNU dan Pemerintah untuk kepastian awal ramadlan.

Senin, 24 Juni 2013

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan
Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.

Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.

Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:

“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”

Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan
Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.

Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.

Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:

“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”

Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.

Minggu, 23 Juni 2013

Kala Seorang Syekh Cemburu pada Tuhannya

Kala Seorang Syekh Cemburu pada Tuhannya
Syekh Abu Utsman Sai’d bin Ismail al-Hirri, seorang ulama sufi asal Naisabur, pernah memergoki seorang pemuda mabuk dalam sebuah perjalanan. Bersama kecapinya, pemuda nakal ini berjalan sempoyongan menyusuri jalanan.

Tahu bahwa Abu Utsman sedang menyaksikan tingkahnya, si pemuda segera merapikan rambut dan menyembunyikan kecapi kesayangannya. Entah karena khawatir akan berurusan dengan pihak berwajib atau sekadar rasa segan.

Abu Utsman segera menghampirinya. Pribadinya yang santun dan rendah hati menghapus segala rasa curiga dan takut pemuda mabuk itu. Abu Utsman menegaskan bahwa di antara mereka berdua adalah saudara.
Singkat cerita, si pemuda pun memutuskan hidup secara baru. Ia menyesali perbuatan masa lalunya dan menapaki jalan kebenaran sebagai murid Syekh Abu Utsman. Tobat si pemuda disambut Abu Utsman dengan memintanya mandi dan memberinya pakaian.

“Ya Allah, aku sudah melaksanakan kewajibanku. Selebihnya adalah urusan-Mu,” Abu Utsman bermunajat.
Abu Utsman betul-betul tak menyangka, sejenak kemudian, muridnya itu mendapat pengalaman mistik luar biasa. Suatu peristiwa rohani yang tak pernah ia alami sebelumnya. Sore harinya ia mengadu ke Syekh Abu Utsman al-Maghribi.

“Wahai Syekh, hatiku tengah terbakar api cemburu. Yang selama hidup kudambakan telah dilimpahkan kepada pemuda yang masih mengeluarkan bau anggur dari dalam perutnya ini. Maka kini aku pun mengerti bahwa manusia mampu berusaha tetapi Tuhan yang menentukan.”

Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Hikmah

Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Jasadnya memang sudah terkubur lebih dari delapan abad. Namun nama dan tauladan hidupnya tetap membekas kuat di kalangan umat Islam. Dialah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ulama sufi kelahiran Persia yang kemasyhurannya setingkat dunia.

Syekh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh
Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.

Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.

”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.

”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.

”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”

Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.

Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku.
Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”

”Mintalah tolong Kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.

Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.

Senin, 10 Juni 2013

Hubungan Tarekat dengan Merah Putih

Hubungan Tarekat dengan Merah Putih

Hubungannya gerakan Tarekat dengan Merah Putih yang menjadi cikal bakal bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilihat dari budaya mengibarkan merah putih atau membalut merah putih pada bagian atap rumah atau suhunan yag sering disebut juga dengan istilah bubungan.

Istilah suhunan dalam bahasa Indonesia sering kehilangan hu, menjadi Sunan. Para Wali juga bergelar Sunan atau Suhunan. Dengan bertolak dari Hadist Rosullullah saw. :“Innallaha zawaaliyal ardha masyariqahaa wa magharibahaa, wa’athaniil kanzainil ahmara wa abyadha- sesunguhnya Allah memperlihatkan bumi kepada timur dan baratnya. Allah memberi dua perbendaharaan kepadaku merah dan putih.” (HR. Muslim).

Bertolak dari ajaran ini, betapa besarnya makna dari merah putih. Sehingga dibudayakan di tengah rakyat agar setiap pembangunan rumah diajarkan untuk membalut bagian kerangka atapnya atau suhunannya dengan kain warna merah putih atau dikibarkan bendera merah putih. Dan juga dalam kegiatan selamatan terutama pada peringantan hari besar Islam menggunakan simbolisasi warna merah putih, meskipun hanya pada pewarnaan bubur.
Sumber : TQN Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya (Ponpes Suryalaya)

Ketika Gus Dur Salah Jalan

HUMOR

Ketika Gus Dur Salah Jalan
Saat berada Kudus, Jawa Tengah, budayawan Ahmad Sobari kepada wartawan mengisahkan dirinya pada waktu menemani Gus Dur menghadiri sebuah kegiatan. Sudah menjadi kegemaran Gus Dur, setiap kali  kunjungan ke daerah selalu menyempatkan berziarah ke makam tokoh maupun ulama setempat.
Pada masa Orde Baru, cerita Kang Sobari, Gus Dur sedang berkunjung sebuah daerah. Di tengah perjalanan, tanpa ada yang membisiki  tiba-tiba Gus Dur menyuruh sopir menghentikan mobilnya.

“Mau kemana Gus?” tanya sang sopir.

“Di daerah ini terdapat makam ulama besar, saya pingin berziarah ke sana,” jawab Gus Dur sambil 
menyuruh sopir berbelok arah menuju makam yang dimaksud.

Ketika sudah menempuh beberapa jam makam yang dimaksudkan tidak tampak di depan mata.

“Gus, mungkin kita salah jalan, disini tidak  terlihat (ada) makam,” tanya Kang Sobari.

“Coba maju  sebelah sana,” jawab Gus Dur menyuruh sopirnya.

Mobil pun melaju perlahan menuju arah yang ditunjukkan Gus Dur. Tetapi mereka belum juga menemukan makam yang dimaksud.

“Masih nggak ada (makam) Gus!” kata Kang Sobari.
Sambil tersenyum, Gus Dur pun berseloroh, “Oh ya sudah. Barangkali jalannya sudah dirubah oleh Orde Baru.”

Kang Sobari dan sopir-pun hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Gus Dur dengan canda.

Selasa, 04 Juni 2013

Tepis Bid’ah ala Habib Umar

Tepis Bid’ah ala Habib Umar
Bagi ulama asal Semarang Habib umar Muthohar,  didebat kelompok yang menuding amalan Aswaja itu bid’ah dan syirik adalah hal  biasa. Habib sering menjawab dengan alasan sederhana dan penuh canda.
Bahkan setiap mengisi pengajian, Habib memberi contoh cerita jawaban debatan orang Wahabi

“Bib, emange orang mati ditahlilkan dido’akan  bisa nyampai?” tanya orang wahabi itu.

“Ya jelas sampai,” jawabnya.

“Kok bisa?” tanya balik orang tadi

“Buktinya, selama ini saya tahlilan untuk orang mati, tidak pernah dikembalikan oleh malaikat. berarti kan
nyampai.!”jawab Habib sambil guyon. Orang tadi hanya diam.

Begitu pula saat ditanya,orang dzikir kok pakai gedek (geleng kekiri –kekanan). Habib dengan enteng menjawab.

”Lha gedek-gedek dewe kok gak boleh,emange masalah buat Loe?. Kalo berdzikir sambil melempari
orang, sampeyan baru boleh mempermasalahkan.” tepis Habib.

Orang tadi tidak bisa berkutik,lagi-lagi terdiam.

Setelah Tentara Menempeleng Sufi

Setelah Tentara Menempeleng Sufi
Sejarah ulama-ulama sufi ternama periode klasik menyimpan dengan baik nama Syekh Abu Ishaq Ibrahim bin Adham. Kepribadiannya dipuji banyak kalangan lantaran sikap zuhud dan tawaduknya.
Siapa tak takjub, ketika jabatan elit sebagai Raja Balkh (Iran) ia tinggalkan demi kehidupan serba sederhana di jalan tasawuf. Kisah Syekh Ibrahim bin Adham sering terekam dalam sumber-sumber Arab dan Persia, seperti Imam Bukhari dan lainnya., sebagai tokoh sufi yang pernah bertemu dengan Nabi Khidzir.

Salah satu inspirasi yang dapat ditimba dari Syekh Ibrahim bin Adham adalah peristiwa di gurun pasir yang lapang. Dalam sebuah perjalanan, Syekh Ibrahim mendadak dihampiri seorang tentara berwatak kasar.

”Dimana kampung yang paling damai?” tanya tentara itu.

Syekh Ibrahim menjawab dengan isyarat telunjuk yang mengarah ke lokasi pemakaman. Tak puas dengan jawaban ini, si tentara pun menghantamkan kepalan tangannya tepat ke arah kepala Syekh Ibrahim. Aksi tentara itu berhenti setelah mengetahui bahwa yang ia pukul adalah Syekh Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, tokoh sufi dari Khurasan.

”Maafkan kekhilafan saya, wahai Syekh.”

”Saat kamu memukulku, aku berdoa kepada Allah agar memasukanmu kedalam surga,”

“Mengapa?”

”Aku tahu bahwa aku akan memperoleh pahala karena pukulanmu. Aku tidak ingin nasibku menjadi baik dengan kerugianmu, dan perhitungan amalmu menjadi buruk karena diriku.”

Akhlak Syekh Ibrahim bin Adham seketika melelehkan hati batu si tentara. Cara Syekh Ibrahim menasihati dan ketulusannya menerima risiko menyadarkannya untuk lebih serius dalam mencari kebenaran.

Mimpi Para Sahabat soal Nasib Umar di Kuburan

Mimpi Para Sahabat soal Nasib Umar di Kuburan
Setelah Sayyidina Umar bin Khattab wafat, para sahabat berjumpa khalifah ketiga ini melalui mimpi. Mereka pun bertanya, ”Bagaimana Allah memperlakukanmu?”
Dalam al-Aqthaf ad-Diniyah dikisahkan Umar menjawab bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan-kekeliruannya dan membebaskan siksa dari dirinya. Para sahabat menyahut dengan pertanyaan susulan.
”Apa penyebabnya? Apakah karena kedermawanan, keadilan, atau kezuhudanmu?”

Umar menimbalinya dengan mengisahkan peristiwa di kuburan. Sejenak usai ia dimakamkan, dua malaikat menghampirinya. Umar dalam perasaan takut luar biasa. Nalarnya hilang. Sebelum malaikat bertanya, suara
tanpa rupa terdengar.

”Tinggalkan hamba-Ku itu. Jangan bertanya apapun kepadanya (Umar). Jangan dibuat takut. Aku mengasihi dan membebaskan siksa darinya. Tatkala di dunia, ia pernah berbelaskasihan kepada seekor burung emprit.”

Benar. Kisah burung emprit bermula ketika Umar tengah berjalan menuju alun-alun kota dan  berjumpa anak kecil. Hati Umar sedih. Bocah itu terlihat sedang memagang burung emprit sembari memperlakukannya selayak mainan.

Umar tergerak untuk segera membeli binatang malang itu. Sekarang burung emprit sepenuhnya menjadi milik Umar. Untuk menyelamatkannya dari perlakuan buruk si bocah, khalifah ketiga ini pun mengikhlaskan burung emprit terbang ke ke udara dengan merdeka.

Hal ini membuktikan bahwa ajaran Rasulullah SAW telah menancap kuat di hati dan perilaku Umar. Meski sering tampil garang, sahabat Nabi berjuluk ”Singa Padang Pasir” itu tetap menunjukkan kelembutan hatinya.

Pesan lain yang bisa ditangkap bahwa cakupan cinta kasih bersifat tanpa batas. Kepada pohon, sungai, tanah, makanan, pakaian, buku, burung, anjing, dan seterusnya. Terlebih manusia. Ini selaras dengan hadits riwayat Abdullah bin Umar.

”Orang-orang yang berbelaskasih akan mendapatkan belas kasih dari Yang Maha Pengasih. Berbelaskasihlah kepada tiap makhluk di bumi, niscaya ’penduduk langit’ mengasihimu.”

Senin, 27 Mei 2013

Membela Warisan Salaf


Membela Warisan Salaf
Serangan Wahabi bukan cuma terjadi di kota-kota besar bahkan telah menyebar secara sporadis di basis rural kaum nahdliyyin. Di pulau Madura, kaum Wahabi yang kini menyebut dirinya Salafi giat menggempur keyakinan mapan kaum ahlusunnah wal jamaah.

Fakta 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa pola gerakan Wahabi dipusatkan pada dua titik konsentrasi. Pertama di kota-kota, untuk wilayah Madura sendiri gerakan Salafi memijakkan diri pada konsentrasi perumahan dan basis warga muslim modern. Sasarannya adalah kalangan profesional yang minim ilmu agama. Pola gerakan ini dijumpai di kota Sumenep, Pragaan Sumenep, Pamekasan juga Bangkalan. Kalangan urban yang cair dan tak terikat sistem kekerabatan ala Madura pedesaan serta tak memiliki loyalitas homogen adalah sasaran utama mereka. Keragaman masyarakat perumahan juga menjadi faktor plus bagi gerakan salafi.

Pola kedua gerakan Salafi dipusatkan di desa-desa terpencil yang minim terhadap akses ilmu agama. Pola ini dijumpai sejak pelosok Kangean sampai pedalaman Sumenep. Pada pola kedua, terlihat jelas taktik kaum Salafi dalam mengelabui masyarakat awam Madura pedalaman utamanya di kepulauan yang minim ilmu agama. Pada dasarnya masyarakat Nahdliyyin pedalaman di kepulauan merupakan massa NU mengambang yang bisa disasar kaum salafi karena akses terhadap kiai dan pesantren yang minim.

Padahal ajaran Aswaja telah menyatu dalam alam pikir Madura. Prinsip Almuhafadzatu ala qadimis Shaleh wa akhdzu bil jadidil ashlah telah diterapkan oleh muslim Madura. Salah satunya dalam konsep bhuppa’, babbhu’, guru, rato yang berasal dari konsep triguru Hindu Majapahit (Agus Sunyoto:2012). Madura juga teguh dalam memegang warisan ulama salaf sejak akidah, fikih dan tasawuf baik melalui para raja seperti Joko Tole, Bindhara Saod sampai Sultan Abdurrahman maupun melalui para ulama sejak Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Syamsul Arifin Kembang Koneng, para ulama Prajan Sampang, para ulama Bata-bata dan Banyuanyar Pamekasan, Kiai Abi Suja’ dan Zainal Arifin Sumenep, juga kalangan habaib sunni di seluruh Madura. Makam auliya Madura sejak Asta Sayyid Yusuf Talango sampai Asta Rato Ebu menjadi saksi teguhnya tradisi Aswaja di Madura.

Kini, tradisi dan ajaran Aswaja diserang ironisnya oleh orang Madura sendiri yang terpengaruh pemikiran Salafi. Buku ini merupakan jawaban terhadap buku-buku karya Kiai Shinwani yang menyerang pondasi Aswaja di Madura. Namun, patut menjadi catatan tentang sosok Kiai Shinwani pengarang buku Panduan Islam Dalam Logika yang kemudian dibantah oleh buku NU Versus Wahabi ini. Menurut sumber-sumber terpercaya, Kiai Shinwani merupakan tokoh sebuah pesantren di Modung, Bangkalan. Uniknya, sampai hari ini Kiai Shinwani tak terlihat sebagai tokoh Salafi. Di pesantrennya, jamak dilakukan tradisi tahlilan dan tradisi aswaja lain yang dianggap bid’ah oleh kaum Salafi. Istrinyapun aktif dalam kegiatan Muslimatan di Modung. Tak ada indikasi bahwa Kiai Shinwani menganut paham Wahabi. Karenanya, Kiai Shinwani sendiri yang harus turun gunung menjelaskan kepada masyarakat Madura utamanya Bangkalan tentang pemikiran yang dituangkan dalam buku Panduan Islam Dalam Logika, agar tidak terjadi kontroversi di masyarakat. Mungkinkah buku karangan Kiai Shinwani hanyalah kesalahan editor ataukah kalangan Salafi sengaja memanipulasinya, wallahu a’lam.

Terlepas dari kontroversi Kiai Shinwani, buku ini tetap layak dibaca di tengah derasnya arus pemikiran Salafi-Wahabi. Titik tolak pada buku ini dipusatkan pada lima pembahasan. Pertama tentang konsep bermazhab ala Ahlusunnah wal Jamaah yang dilahirkan sebagai antitesis terhadap pola pikir anti mazhab kalangan Salafi. Bagian kedua menitikberatkan pada pembahasan tentang hadits dhaif, bagian ketiga tentang pembelaan tentang mukminnya kedua orang tua nabi, bagian keempat tentang pemahaman bid’ah serta bagian kelima tentang tradisi dan hubungannya dengan bid’ah. Pada titik poin pertama, buku karangan A. Qusyairi Ismail dan M. Syafiq Alydrus ini menitikberatkan pada representasi para ulama sunni yang semuanya bermazhab empat termasuk pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah yang memberi isyarat bahwa bermazhab merupakan perilaku beragama yang benar, mulia dan menjaga keselarasan dengan sunnah. Perbedaan pendapat dalam furu’iyah juga menjadi suatu keniscayaan karena hal itu telah dipraktekkan generasi terbaik, kaum salaf.

Pembahasan hadits dhaif dibahas secara ringkas namun secara umum mengena. Selain mengutip pendapat ulama salaf seperti Sufyan Tsauri, Imam Ahmad Bin Hanbal, Sufyan Bin Uyainah, buku ini juga menyebutkan bahwa hadits dhaif pada dasarnya telah diamalkan dan disepakati semua ulama pada bidang fadha’il al a’mal. Buku ini juga menyebut bahwa hadits dhaif terdapat dalam kitab-kitab karangan Imam Ghazali, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah dan Muhammad Bin Abdul Wahab. Kalau hadits dhaif dalam Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Ghazali para ulama Salafi telah banyak tahu bahkan menggunakannya sebagai amunisi serangan terhadap tasawuf. Namun sayangnya, buku ini tak menyebutkan contoh hadits dhaif dan maudhu’ yang berada dalam kitab-kitab ulama rujukan Salafi seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah dan Muhammad Abdul Wahab sehingga serangan balik terhadap Salafi menjadi kurang mematikan.

Tentang mukminnya kedua orang tua nabi juga dibahas secara singkat, ringkas dan padat. Tapi pembahasan ini masih kurang mendalam karena kalangan Salafi di beberapa kitab memiliki bantahan berliku untuk mebuktikan bahwa kedua orang tua nabi musyrik. Namun secara umum, buku ini telah memberikan hujjah bantahan tentang keimanan kedua orang tua nabi secara mengena baik melalui analisa tafsir secara singkat, dalil dari hadits serta pendapat para ulama termasuk Ibnu Taimiyah.

Secara umum buku ini layak dibaca namun menurut hemat kami masih sebatas pendahuluan dari sebuah dialog panjang dengan Salafi. Bagi kalangan awam, buku ini sudah cukup sebagai benteng pertahanan yang multiguna. Namun, bagi kalangan intelektual, buku ini masih perlu untuk menyajikan pembahasan secara lebih dalam, detil dan hujjah ilmiah yang lebih banyak lagi. Makin bervariasinya taktik kaum Salafi dalam bergerak dan makin rumitnya mereka dalam menyajikan dalil harus dihadapi dengan sebuah buku yang kajiannya lebih mendalam lagi.

Senin, 22 April 2013

Enam Kelompok yang Tidak Perlu Dihormati

Enam Kelompok yang Tidak Perlu Dihormati
Fiqih merupakan salah satu bentuk pengetahuan dalam Islam yang amat luas cakupannya. Fiqih dapat dibilang sebagai ilmu yang komprehensif , yang mengatur segala pranata kehidupan kehidupan seorang muslim lengkap dengan hukumnya. Baik berhubungan dengan sesama manusia (hablum minan nas) maupun berhubungan dengan Tuhannya (hablum minallah). Sebagaimana terlihat dalam tiga unsurnya yaitu ubudiyyah, muamalah dan munakahat. 
Namun demikian, seringkali fiqih hanya difahami sebagai ‘kurungan’ hukum dan ubudiyah yang hanya membahas  tentang syah dan tidaknya shalat, zakat, puasa dan haji. Padahal di dalam fiqih juga terdapat moral yang memiliki nilai tidak kalah pentingnya dari hukum itu sendiri.

Hal in tercermin dalam salah satu pengkategorian kelompok terhormat dan yang tidak terhormat yang dilakukan oleh Syaikh Salim bin Samir Hadramy dalam kitabnya Safinatun Naja, sehubungan dengan masalah tayammum sebagai pengganti wudhu.

Dalam bab tersebut disebutkan bahwa ada tiga sebab yang memperbolehkan seseorang bertayammum pertama tidak ada air, kedua karena sakit, ketiga air lebih dibutuhkan untuk minum binatang yang terhormat (artinya air yang ada lebih baik dipergunakan sebagai minuman binatang yang terhormat dari pada digunakan untuk wudhu, dan sebagai wudhunya adalah tayammum). Demikian teks aslinya berbunyi:

أسباب التيمم ثلاثة فقد الماء والمرض والاحتياج اليه لعطس حيوان محترم
Jika dibaca dengan cermat maka teks tersebut akan melahirkan sebuah pertanyaan kongkrit, siapakah kelompok ‘hewan’ terhormat itu dan siapakah yang tidak terhormat? Karena luasnya kelompok yang terhormat, maka Syaikh Salim bin Samir hanya menerangkan kelompok yang tidak terhormat yaitu; pertama orang yang meninggalkan sholat, kedua orang yang melakukan zina dan ia sudah menikah (zina muhshan), ketiga orang murtad (yang keluar dari islam), keempat kafir harbi (kafir yang terlibat perang dengan muslim), kelima anjing yang galak, dan keenam adalah babi.

وغير المحترم ستة تارك الصلاة والزانى المحصن والمرتد والكافر الحربى والكلب العقور والحنزير
Dengan demikian satu bab mengenai tayammum ini tidaklah berisi semata pembahasan bersuci thoharoh, tetapi termasuk juga masalah moral, yang tercermin dalam kategprisasi Syaikh Salim tentang mereka yang tidak berhak diberi penghormatan. Wallahu a’lam bis showab

Tiga Konsep Memajukan IPNU-IPPNU

Tiga Konsep Memajukan IPNU-IPPNU
Sebagai Banom kaum pelajar, IPNU-IPPNU harus terus meremajakan konsepnya dalam menjawab persoalan jaman. Jangan sampai IPNU-IPPNU kehabisan stok konsep, karena tantangan jaman yang dihadapi sangat kompleks.

Ada tiga hal penting untuk membangun IPNU-IPPNU agar menjadi organisasi yang lebih baik.

Pertama, dalam konfercab kali ini untuk menjadi organisai yang lebih baik, IPNU-IPPNU harus mempunyai program yang jelas. Hal tersebut meliputi tentang acuan, alasan yang jelas dan harus bisa menjelaskan pentingnya program tersebut dijalankan.

“Dengan adanya kejelasan program tersebut, IPNU-IPPNU bisa menggapai cita-citanya,”

Kedua, dalam melaksanakan program, IPNU-IPPNU harus mempunyai batasan waktu yang jelas. Jangan sampai menjalankan program hanya mengalir tanpa memperhatikan jadwal.

Ketiga, kesanggupan kerja keras dan komitmen dalam menjalankan tugas yang diemban oleh kader IPNU-IPPNU.

“Kalau ketiga hal tersebut dilaksanakan dengan baik oleh kader-kader IPNU-IPPNU, maka organisasi ini akan lebih baik,”

Pentingnya kemampuan untuk membaca apa yang akan mempengaruhi masa depan. Posisi IPNU-IPNU masa depan dipenuhi tantangan yang kompleks, tidak bisa dibaca secara instan. 
Ada sembilan variabel untuk memahami dan mencetak generasi kader IPNU-IPPNU yang paham dengan tren. Agar kader IPNU-IPPNU tidak ketinggalan seiring dengan berkembangnya zaman.
Sembilan variabel tersebut adalah sebagai berikut, pertama, harus memahami hubungan antar Amerika dan China. Karena ke dua negara tersebut dapat memprediksikan wajah dunia yang akan datang. Sehingga kader IPNU-IPPNU tidak boleh untuk mengesampingkan isu-isu nasional. Dengan demikian, kader IPNU-IPPNU tidak akan mencetak pelajar yang ketertinggalan.

Kedua, yang diperhatikan adalah isu kesehatan. 20 tahun yang akan datang, kesehatan menjadi salah satu problem masyarakat dan internasional. Ketiga, problem iklim. Keempat, perkembangan ilmu-ilmu yang aneh, misalnya kloning. Kelima, pergeseran struktur tenaga kerja. Keenam, pergeseran demografi. Ketujuh, masalah pangan. Kedelapan, meningkatnya komersialisasi di bidang pendidikan. Kesembilan, privatisasi.

“Dari kesembilan variabel tersebut, kader IPNU-IPPPNU harus mengetahui isu-isu tersebut, terutama masalah pendidikan. Dengan mengetahui isu-isu tersebut, IPNU-IPPNU akan mengetahui tren yang akan terjadi 10-15 tahun lagi, dan dapat mengantisipasi lewat pengkaderan IPNU-IPPN
U”

Rabu, 10 April 2013

Jihad NU Berpedoman 4 Hal

Jihad NU Berpedoman 4 Hal
Jihad dalam NU harus berpedoman atau seirama dengan empat konsep; tasamuh (toleran), tawasuth (moderat) dan tawazun (netral), dan i’tidal (adil).

Dalam pandangan NU, jihad juga bisa dimaknai sebagai upaya membuat masyarakat sejahtera, aman, bebas melakukan apapun yang mereka inginkan selama tidak melanggar pada koridor-koridor hukum yang berlaku.

Demikian dikatakan KH Munir Syafa’at, Rais Syuriyah PCNU Kota Yogyakarta di Pesantren Hidayatul Mubtadi’in, Kota Gede, Yogyakarta, Selasa (9/4).

Bagi Kiai Munir, tantangan jihad di masa sekarang ini berbeda dengan masa dahulu. Kalau dahulu penjajah itu nyata. Orang-orang kafir langsung menyerang pada kekuatan-kekuatan Islam. Tapi sekarang mereka tidak seperti itu.

“Kita ini sekarang digerogoti dari sisi budaya, model pendidikan, ekonomi, bahkan perpolitikan. Maka dari itu, NU jihadnya harus memerangi dengan apa yang mereka lakukan.” tegasnya.

Kiai Munir juga menjelaksan bahwa NU harus betul-betul mempersiapkan diri dengan meningkatkan SDM-nya untuk menata NU di masa depan. Baginya, NU harus mandiri secara ekonomi.

Selain itu, bagi Kiai Munir, NU butuh SDM tidak hanya pinter, tetapi juga kober (sempat dan menyempatkan waktu). Memang benar NU itu butuh orang “pinter”. Namun yang paling pokok itu adalah “kober”.

“Sangat sulit jika kita berbicara jihad, sementara sarana menuju jihad itu tidak tersedia. Untuk itu, SDM NU perlu “dikoberkan”, supaya pinternya itu bisa digunakan untuk membangkitkan girah untuk jihad seperti yang dilakukan oleh para masyayikh dan para kiai,” tegasnya.

Kamis, 04 April 2013

Tokoh Sufi: Syekh Ibnu Atha'illah, Penulis Kitab Al-Hikam

Tokoh Sufi: Syekh Ibnu Atha'illah, Penulis Kitab Al-Hikam



Nama lengkapnya adalah Syekh Ahmad ibnu Muhammad Ibnu Atha’illah As-Sakandari. Ia lahir di Iskandariah (Mesir) pada 648 H/1250 M, dan meninggal di Kairo pada 1309 M. Julukan Al-Iskandari atau As-Sakandari merujuk kota kelahirannya itu.

Sejak kecil, Ibnu Atha’illah dikenal gemar belajar. Ia menimba ilmu dari beberapa syekh secara bertahap. Gurunya yang paling dekat adalah Abu Al-Abbas Ahmad ibnu Ali Al-Anshari Al-Mursi, murid dari Abu Al-Hasan Al-Syadzili, pendiri tarikat Al-Syadzili. Dalam bidang fiqih ia menganut dan menguasai Mazhab Maliki, sedangkan di bidang tasawuf ia termasuk pengikut sekaligus tokoh tarikat Al-Syadzili.

Ibnu Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya yang pernah dihasilkannya. Meliputi bidang tasawuf, tafsir, aqidah, hadits, nahwu, dan ushul fiqh. Dari beberapa karyanya itu yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opusnya. Kitab itu sudah beberapa kali disyarah. Antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim ibnu Ibad Ar-Rasyid-Rundi, Syaikh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibnu Ajiba.

Beberapa kitab lainnya yang ditulis adalah Al-Tanwir fi Isqath Al-Tadbir, Unwan At-Taufiq fi’dab Al-Thariq, Miftah Al-Falah dan Al-Qaul Al-Mujarrad fil Al-Ism Al-Mufrad. Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap Syekhul Islam ibnu Taimiyyah mengenai persoalan tauhid.

Kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun. Ibnu Taimiyyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktek sufisme. Sementara Ibnu Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah. Karena mereka juga ketat dalam urusan syari’at.

Ibnu Atha'illah dikenal sebagai sosok yang dikagumi dan bersih. Ia menjadi panutan bagi banyak orang yang meniti jalan menuju Tuhan. Menjadi teladan bagi orang-orang yang ikhlas, dan imam bagi para juru nasihat.

Ia dikenal sebagai master atau syekh ketiga dalam lingkungan tarikat Syadzili setelah pendirinya Abu Al-Hasan Asy-Syadzili dan penerusnya, Abu Al-Abbas Al-Mursi. Dan Ibnu Atha'illah inilah yang pertama menghimpun ajaran-ajaran, pesan-pesan, doa dan biografi keduanya, sehingga khazanah tarikat Syadziliyah tetap terpelihara.

Meski ia tokoh kunci di sebuah tarikat, bukan berarti aktifitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarikat saja. Buku-buku Ibnu Athaillah dibaca luas oleh kaum muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas mazhab dan tarikat, terutama kitab Al-Hikam.

Kitab Al-Hikam ini merupakan karya utama Ibnu Atha’illah, yang sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Kitab ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.

Syekh Ibnu Atha’illah menghadirkan Kitab Al-Hikam dengan sandaran utama pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Guru besar spiritualisme ini menyalakan pelita untuk menjadi penerang bagi setiap salik, menunjukkan segala aral yang ada di setiap kelokan jalan, agar kita semua selamat menempuhnya.

Kitab Al-Hikam merupakan ciri khas pemikiran Ibnu Atha’illah, khususnya dalam paradigma tasawuf. Di antara para tokoh sufi yang lain seperti Al-Hallaj, Ibnul Arabi, Abu Husen An-Nuri, dan para tokoh sufisme falsafi yang lainnya, kedudukan pemikiran Ibnu Atha’illah bukan sekedar bercorak tasawuf falsafi yang mengedepankan teologi. Tetapi diimbangi dengan unsur-unsur pengamalan ibadah dan suluk, artinya di antara syari’at, tarikat dan hakikat ditempuh  dengan cara metodis. Corak Pemikiran Ibnu Atha’illah dalam bidang tasawuf sangat berbeda dengan para tokoh sufi lainnya. Ia lebih menekankan nilai tasawuf  pada ma’rifat.

Adapun pemikiran-pemikiran tarikat tersebut adalah: Pertama, tidak dianjurkan kepada para muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan,  dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah dan mengenal rahmat Illahi. 

"Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur. Dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan dunia akan membawa kepada kezaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah SWT. dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan Rasul-Nya," kata Ibnu Atha'illah.

Kedua, tidak mengabaikan penerapan syari’at Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan Al-Ghazali, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Mengarah kepada asketisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), serta pembinaan moral (akhlak), suatu nilai tasawuf yang dikenal cukup moderat.

Ketiga,  zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati selain daripada Tuhan. Dunia yang dibenci para sufi adalah dunia yang melengahkan dan memperbudak manusia. Kesenangan dunia adalah tingkah laku syahwat, berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. "Semua itu hanyalah permainan (al-la’b) dan senda gurau (al-lahwu) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang dibenci kaum sufi," ujarnya.

Keempat,  tidak ada halangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimiliknya. Seorang salik boleh mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia. Seorang salik, kata Atha'illah, tidak bersedih ketika kehilangan harta benda dan tidak dimabuk kesenangan ketika mendapatkan harta.

Kelima, berusaha merespons apa yang sedang mengancam kehidupan umat, berusaha menjembatani antara kekeringan spiritual yang dialami orang yang hanya sibuk dengan urusan duniawi, dengan sikap pasif yang banyak dialami para salik.

Keenam, tasawuf adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah. Bagi Syekh Atha'illah, tasawuf memiliki empat aspek penting yakni berakhlak dengan akhlak Allah SWT, senantiasa melakukan perintah-Nya, dapat menguasai hawa nafsunya serta berupaya selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sunguh-sungguh.

Ketujuh, dalam kaitannya dengan ma’rifat Al-Syadzili, ia berpendapat bahwa ma’rifat adalah salah satu tujuan dari tasawuf yang dapat diperoleh dengan dua jalan; mawahib, yaitu Tuhan memberikannya tanpa usaha dan Dia memilihnya sendiri orang-orang yang akan diberi anugerah tersebut; dan makasib, yaitu ma’rifat akan dapat diperoleh melalui usaha keras seseorang, melalui ar-riyadhah, dzikir, wudhu, puasa ,sahalat sunnah dan amal shalih lainnya.

Pokok-pokok Pandangan PBNU terhadap RUU Ormas



Pokok-pokok Pandangan PBNU terhadap RUU Ormas

Berikut ini adalah pokok-pokok pandangan dan sikap Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Organisasi Kemasyarakatan.

1. PBNU mengapresiasi terhadap langkah pemerintah dan DPR yang tengah menyempurnakan UU No. 8/1985 Tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun, menurut PBNU, masih terdapat pasal-pasal yang harus dirumuskan ulang, bahkan beberapa di antaranya harus dihilangkan.

2. PBNU menghargai rumusan baru tentang penggunaan asas Pancasila, yang mengakomodasi penggunaan ’asas ciri’. Dengan akomodasi itu maka RUU ini tidak terlalu kaku karena pluralitas ideologi, sejauh tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, asas ciri tersebut boleh dicantumkan sebagai ciri organisasi yang bersangkutan.

3. Namun, NU memandang a-historis definisi ormas, dalam memberi pengertian ormas dengan cara menggeneralisasi pengertian ormas seperti negara-negara Barat sebagai organisasi ”berbadan hukum” dan ”tidak berbadan hukum” tanpa mendeskripsikan tata nilai dan kesejahteraan serta peran-peran ormas, seperti NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam dan lain-lain dalam konteks masyarakat Indonesia. Dengan demikian perlu dibedakan secara tegas antara Yayasan, Perkumpulan, dan Organisasi Kemasyarakatan yang sudah berurat-akar di dalam sistem/kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia, yang tidak dimiliki oleh negara-negara lain. Tiga jenis organisasi yang sangat berbeda tersebut harus diatur dalam skema perundang-undangan yang terpisah/berbeda. Tidak perlu mengikuti tradisi Belanda, yang hanya memiliki dua jenis UU, yaitu UU Yayasan dan UU Perkumpulan. Dengan mengancu pada pengalaman kehidupan kemasyarakatan sendiri, maka di negeri ini kita seharusnya berani merumuskan/mengeluaran satu UU yang khusus mengatur kehidupan organisasi kemasyarakatan yang berbeda sama sekali dengan UU Yayasan atau UU Perkumpulan.

4. Konsekuensinya, pasal-pasal yang mengatur keberadaan LSM asing, lebih-lebih dengan mempersamakannya dengan aturan atau persyaratan yang dikenalkan kepada ormas, harus dikeluarkan dari RUU Ormas ini. Kalaulah entitas seperti LSM asing itu ingin diberi landasan hukum, dipersilahkan diatur dalam UU tersendiri (Bab VII RUU Ormas).

5. Naskah RUU ini belum melihat sejarah, peran dan kotribusi ormas seperti NU, Muhammadiyah, Perti, Nahdlatul Wathan, Alkhairat, Syarikat Islam (SI), Katolik, Protestan, Hindu, dan Budha, dalam proses pembentukan kesadaran berbangsa dan bernegara dan pembentukan NKRI.

6. Oleh karena itulah PBNU mengusulkan agar DPR menunda pengesahan RUU ini. Untuk menghindari berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dari pengesahan RUU ini.

Selasa, 02 April 2013

Syair-Syair Hikmah KH Wahid Hasyim (2)

Syair-Syair Hikmah KH Wahid Hasyim (2)

Ketokohan KH Abdul Wahid Hasyim tentu sulit diingkari. Dalam usia 21 tahun, Wahid  muda sudah membuat terobosan-terobosan cemerlang di dunia pendidikan, utamanya pesantren.
Ketika bergabung Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), usianya baru genap 25 tahun. Namun setahun kemudian, Wahid justru mengetuai federasi organisasi massa dan partai Islam ini.

Karir perjuangannya menanjak cepat. Wahid turut memimpin PBNU, menjadi anggota BPUPKI, dan akhirnya ditunjuk sebagai menteri agama. Artinya, selain berjihad menumpas kaum penjajah, Wahid terlibat aktif dalam segenap proses paling menentukan pendirian negara.

Masa-masa hidup Wahid hampir dihabiskan seluruhnya dengan penuh manfaat.Ulama dan tokoh nasional ini tutup usia pada 19 April 1953, sebelum ulang tahunnya yang ke-38 diperingati. Berikut ini adalah sejumlah syair inspiratif pegangannya, yang sarat pesan perjuangan, kerja keras, penghargaan atas waktu, cita-cita, serta keinsafan tentang dinamika hidup.

وَلَمْ أَجِدِ الْإِنْسَانَ إِلاَّ ابْنَ سَعْيِهِ # فَمَنْ كَانَ أَسْعَى كَانَ بِالْمَجْدِ أَجْدَرَا 
وَبِاْلهِمَّةِ العُلْيَا تَرَقَّى إِلَى العُلىَ # فَمَنْ كَانَ أَعْلَى هِمَّةً كَانَ أَظْهَرَا
وَلَمْ يَتَأَخَّرْ مَنْ أَرَادَ تَقَدُّماً # وَلَمْ يَتَقَدَّمْ مَنْ أَرَادَ تَأَخُّرَا

Setiap manusia adalah anak dari jerih payahnya. Semakin keras berusaha, semakin pantas ia jaya. Cita-cita yang tinggi dapat mengangkatnya ke derajat yang tinggi. Semakin keras berkemauan, semakin terang derajat itu. Tak ada langkah mundur bagi orang yang ingin maju. Tak ada kemajuan bagi orang yang menghendaki mundur.

 وَلَا تَحْتَقِرْ كَيْدَ الضَّعِيْفِ وَرُبَّمَا # تَمُوْتُ الأَفَاعِي مِنْ سُمُومِ العَقَارِبِ 
وَقَدْ هَدَّ قِدْماً عَرْشَ بُلْقِيْسَ هُدْهُدٌ # وَخَرَّبَ حَفْرُ الفَأْرِ سَدَّ الْمَأرِبِ

Jangan remehkan siasat sesuatu yang (tampak) lemah. Terkadang, ular ganas mati oleh racun kalajengking. Ternyata, burung Hudhud sanggup menumbangkan singgasana ratu Bulqis, dan liang tikus mampu meruntuhkan bangunan kokoh.

وَمِنْ عَادَةِ اْلأَيَّامِ أَنَّ خُطُوْبَهَا # إِذَا سُرَّ مِنْهَا جَانِبٌ سَاءَ جَانِبُ

Sudah menjadi tabiat waktu, membahagiakan satu pihak akan menyedihkan pihak lainnya.

بِذَا قَضَتِ الْأَيَّامُ مَا بَيْنَ أَهْلِهَا # مَصَائِبُ قَوْمٍ عِنْدَ قَوْمٍ فَوَائِدُ
عَرَفْتُ سَجَايَا الدَّهْرِ أَمَّا شُرَوْرُهُ # فَنَقْدٌ وَأَمَّا خَيْرُهُ فَوعُوْدُ

Begitulah waktu menentukan takdir untuk penghuninya (manusia). Musibah bagi sekelompok orang adalah keberuntungan bagi kelompok lain. Aku sudah mafhum dengan kelakuan zaman yang sekilas ini: keburukannya merupakan kritik, sedangkan kebaikannya hanyalah janji.

فَإِنَّ غُبَارَ الصَّافِنَاتِ إِذَا عَلاَ # نَشَقْتُ لَهُ رِيْحاً ألَذُّ مِنَ النَّدِّ 
وَرَيْحَانَتِي سَيْفِيْ وَكَأْسَاتُ مَجْلِسِيْ # جَماَجِمُ سَادَاتٍ حِرَاصٍ عَلَى الْمَجْدِ

Ketika debu kavaleri berhamburan, aku justru menghirup keharuman yang melampaui wangi kemenyan. Semir mata pedang dan gelas-gelas di meja rapatku pun menjelma tengkorak para pembesar (musuh) yang rakus kejayaan.

جَزَى اللهُ خَيْراً كُلَّ مَنْ لَيْسَ بَيْنَنَا # وَلَا بَيْنَهُ وُدٌّ وَلَا مُتَعَرِّفُ
فَمَا نَالَنِي ضَيْمٌ وَلَا مَسَّنِي أَذَى # مِنَ النَّاسِ إِلاَّ مِنْ فَتَى كُنْتُ أَعْرِفُ

Semoga Allah melimpahkan kebaikan pada setiap manusia yang belum saling sayang dan saling kenal. Tak pernah aku mengeluh dan diterpa kesulitan kecuali dari orang yang sudah aku kenal.

وَلَدَتْكَ أُمُّكَ يَابْنَ آدَمَ بَاكِياً # وَالنَّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُوْنَ سُرُوْرًا
فَاجْهَدْ لِنَفْسِكَ أَنْ تَكُوْنَ إِذَا بَكَواْ # فِيْ يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكاً مَسْرُوْراً

Saat bunda melahirkanmu, engkau menangis, sementara orang-orang sekeliling menyambutmu dengan tawa gembira. Berjuanglah, hingga saat mautmu tiba, mereka manangis, sementara engkau tertawa ria.


Mahbib Khoiron
Dikutip dan diterjemah ulang dari
KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011

Rabu, 27 Maret 2013

Beginilah Modus Upaya Perebutan Masjid NU


Beginilah Modus Upaya Perebutan Masjid NU

Warga NU telah tersebar di seluruh pelosok Indonesia. Mereka berdakwah dengan membangun masjid, musholla serta madrasah untuk meningkatkan kualitas ibadah dan iman umat Islam sejak sebelum kemerdekaan Indonesia.

Dengan terbukanya Indonesia, bermunculan kelompok Islam baru yang berusaha mengembangkan ajaran mereka di Indonesia. Bukannya berdakwah kepada mereka yang belum berislam, mereka malah menyalahkan kelompok lain dengan menuduhnya bid’ah, khurafat, bahkan mengkafirkan dan mengklaim hanya aliran mereka sendiri yang benar. Mereka juga berusaha merebut masjid-masjid yang selama ini dirawat dan dipelihara oleh warga NU dengan tujuan mengganti amalan yang mereka yakini.

Dengan berusaha manarik simpati sebagai saudara sesama muslim, mereka berusaha memperdaya takmir masjid yang telah berkhusnudhon dan menyediakan tempat bagi mereka. Ketua Lembaga Takmir Masjid Nahdlatul Ulama (LTMNU) KH Abdul Manan Al Ghani menyampaikan beberapa modus yang mereka gunakan dalam proses mengambil alih pengelolaan masjid.

1. Terdapat orang yang datang atau sengaja mengontrak rumah di dekat masjid lalu aktif berjamaah sholat lima waktu di masjid tersebut dan memperkenalkan dirinya kepada jamaah lain serta pengurus masjid.

2. Lalu, orang tersebut mulai aktif ikut menjaga kebersihan masjid, sehingga mendapat simpati dari pengelola masjid.

3. Jika muadzin atau imam sholat kebetulan berhalangan, ia menawarkan diri untuk menjalankan tugas
tersebut. Karena sudah dikenal, peran tersebut dengan mudah diterima pengurus masjid dan tidak dipertanyakan.

4. Ketika ada rapat pengurus, ia mulai aktif dan ikut memberi usulan, biasanya yang diusulkan adalah khotib Jum’at, yang berasal dari kelompoknya.

5. Langkah selanjutnya, ia akan semakin berusaha mendominasi dan mengajak teman-temannya membuat kegiatan di masjid tersebut. Ketika terjadi perubahan kepengurusan masjid, ia memasukkan orang-orangnya dalam kepengurusan.

6. Jika dirasa sudah mendominasi dalam kepengurusan dan kegiatan, ia akan menyingkirkan orang lama dan mengganti amalan ibadah masjid tersebut yang sesuai dengan alirannya. Di masjid tersebut, juga mulai kencang disuarakan bid’ah atau menyalahkan ajaran yang di luar alirannya serta melarang orang lain menjalankan kegiatan di masjid tersebut.

Kiai Manan mengingatkan agar pengurus masjid NU jika menemui modus-modus seperti itu dan menjaga eksistensi masjid tersebut. LTMNU siap membantu melakukan sertifikasi wakaf atas nama nadhir NU sebagaimana yang sudah dilakukan di sejumlah tempat sehingga kepemilikan masjid tersebut tidak berpindah tangan.

Selasa, 26 Maret 2013

Seputar Akidah Sufi Terhadap Rasulullah

Seputar Akidah Sufi Terhadap Rasulullah

Diantara persoalan yang digugat oleh mereka yang anti Tasawuf adalah mengenai akidah kaum Sufi terhadap Rasulullah SAW. Mereka menuduh kaum Sufi bahwa, kaum Sufi berpandangan kalau Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi.
 
Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi, sebagaimana ungkapan Abu Yazid al-Busthamy, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”.
Bahkan Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Arasy, Kursy, Qolam, langit dan bumi diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama Maujud, dan dialah yang bersemayam di Arasy.
 
JAWABAN
 
Kenapa mereka yang kontra terhadap dunia Sufi sebegitu dangkal memahami metafor-metafor yang menjadi bahasa khas para Sufi? Sebegitu dangkalkah mereka memahami Al-Qur’an sehingga memiliki tuduhan terhadam kaum Sufi sebagai kelompok yang berpandangan sesat?
 
Para Sufi sama sekali tidak pernah berpandangan bahwa Rasulullah SAW. tidak mencapai martabat Sufi. Justru sebaliknya Rasulullah adalah tipe ideal Insan Kamil, sebagai puncak paripurna yang tak tertandingi dalam dunia Sufi. Rasulullah adalah teladan utama para Sufi. Rasulullah SAW, adalah panutan secara syari’at maupun hakikat dari para penempuh jalan Sufi. Rasulullah adalah par-exellent yang justru membimbing jiwa-jiwa yang rindu kepada Allah, dan kerinduan kepada Allah secara hakiki hanya dialami oleh para penempuh itu.
 
Coba jika mereka mau mencoba memahami karya Ibnu Araby maupun Al-Jily yang selama ini mereka tuduh sebagai biangkerok penyimpangan akidah. Mereka tidak memahami bahasa-bahasa hakikat dalam tradisi ilmu Tasawuf, yang mereka gunakan hanyalah akal rasional. Sedangkan wilayah akal rasional itu, tidak mampu menyentuh dunia batin, dunia ruh, dunia Rahasia Ilahi. Obyek rasional hanyalah teori, logika dan aksioma, dan terbukti gagal untuk Ma’rifatullah. Apakah mereka akan terus menerus berkubang dalam Lumpur tipudaya imajiner mereka?
 
Salah satu contoh betapa mereka dangkal memahami metafora dunia Sufi adalah cara mereka menilai Abu Yazid Al-Bisthamy. Kata-kata Abu Yazid itu bukan sama sekali menunjukkan bahwa Abu Yazid lebih unggul dari para Nabi dan Rasul. Coba renungkan dengan jiwa yang suci, kata-katanya, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul sudah tuntas menyelami Lautan Ilahi. Nabi dan Rasul sudah sampai ke benuanya, sedangkan Abu Yazid masih mengarunginya.
 
Abu Yazid sedang mengarungi Lautan demi Lautan Ilahi, Lautan Malakut, Lautan Jabarut dan Lautan Lahut. Bahkan Tujuh Lautan Ilahi yang sedang diarunginya. Para Nabi dan Rasul sudah selesai, sudah sampai ke pantai benuanya, turut memberi syafaat dan mendoakan Abu Yazid dan yang lainnya.
Mengenai Nur Muhammad dan Muhammad sebagai awal wujud, memang benar. Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul di dunia, yang lahir dalam waktu dan ruang sejarah, tahun tertentu, dan dengan peristiwa historis tertentu, tentu berbeda dengan nama Muhammad yang menjadi awal maujud ini.
 
Mereka yang kontra dengan dunia Sufi memang tidak memahami apakah sesungguhnya hakikat Nur (Cahaya) itu sendiri. Berapa lapiskah Cahaya Ilahi itu, dan apa bedanya Nurullah dengan Nur Muhammad, apa pula bedanya dengan Nurun alan-Nuur, yang ada di Al-Qur’an itu. Justru para Ulama Sufilah yang bisa menafsirkan secara universal dan tuntas mengenai ayat Cahaya dalam Al-Qur’an itu.
Belum lagi makna dari Kegelapan (Dzulumat), bagaimana wujud dzulumat, apa pula lapisan dzulumat, fakta dzulumat, rekayasa dzulumat dan bagaimana strategi Iblis dan Syetan muncul dari wahana dzulumat?
Dalam hadits disebutkan, “Pertama kali diciptakan adalah An-Nuur”, dan hadits lain menyebutkan, “Awal yang diciptakan Allah adalah al-Qolam…” serta hadits lain berbunyi, “Awal yang diciptakan Allah adalah akal…”
 
Tiga hadits itu sesungguhnya sama sekali tidak bertentangan. Kalau mereka mau mempelajari Ushul Fiqh saja, akan tahu bagaimana sistematika istimbath manakala ada hadits satu sama lain yang terkesan kontradiktif. Maka ada jalan keluar untuk menyimpulkan secara al-Jam’u (kompromi) atau bersifat nasikh dan mansukh. Tetai hadits tersebut cukup difahami dengan penggunaan metode al-Jam’u, yaitu dengan memahami bahwa Nur, Qolam, Akal, adalah “satu kesatuan dalam keragaman”.
Karena satu kesatuan, Nur, Qolam dan Akal merupakan tiga dimensi yang saling berkelindan, baik secara eksistensial maupun fungsional. Artinya Nur adalah esensi dari akal, dan Akal adalah esensi dari Qolam. Nur adalah rahasia Akal, dan Akal adalah rahasia Qolam, dan Qolam adalah awal ayang membuat Titik dari huruf Nun dalam Kun itu.
 
Nabi Muhammad SAW dalam hal ini adalah Wujud Paripurna secara ruhani dari seluruh alam semesta, karena itu jika disebutkan dalam ayat Ar-Rahmaanu ‘alal Arsyi Istawa (Yang Maha Rahman bersemayam di Arasy) maka, hakikat Ar-Rahman secara makrokosmos adalah jiwa Muhammad, dan Muhammad adalah penyempurna Ar-Rahman yang termaujud dalam Ar-Rahim. Karena itu dalam Surat At-Taubah, dua ayat terakhir, menyebutkan sifat Nabi Muhammad adalah Ro’ufur Rohiim.
Maka, dengan akal yang dangkal dan pikiran rasional, manusia sering memaksa diri untuk memahami hal-hal yang metafisis, akhirnya malah gagal, lalu berujung menjadi sikap apriori terhadap dunia alam bathiniyah, yang menjadi wilayah hamparan pertumbuhan Cahaya Iman kita. Wallahu A’lam

Senin, 25 Maret 2013

Syair-Syair Hikmah KH Wahid Hasyim



Syair-Syair Hikmah KH Wahid Hasyim

KH Abdul Wahid Hasyim termasuk tokoh yang gemar mencatat. Tak heran, sejumlah pantun dan sajak kesukaannya dalam berbagai bahasa tetap tersimpan rapi hingga sekarang. Beberapa syair hikmah berbahasa Arab berikut adalah sebagain warisan berharga dari ulama dan pahlawan nasional ini.

وَلَا شَيْءٌ يَدُوْمُ فَكُنْ حَدِيْثاً # جَمِيْلَ الذّكْرِ فَالدُّنْيَا حَدِيْثُ
Tak ada satu pun di dunia ini yang kekal. Maka, ukirlah cerita indah sebagai kenangan. Karena dunia memang sebuah cerita

أَلَا لِيَقُلْ مَا شَاءَ مَنْ شَاءَ إِنّماَ # يُلاَمُ الفَتىَ فِيْمَا اسْتَطَاعَ مِنَ اْلأَمْرِ
Ungkapkanlah apa yang ingin diungkapkan. (Jangan ragu) pemuda memang selalu dicemooh lantaran kecakapannya.

ذَرِيْنِيْ أَنَالُ مَا لَا يُناَلُ مِنَ اْلعُلَى # فَصَعْبُ العُلىَ فِي الصَّعْبِ وَالسَّهْلُ فِي السَّهْلِ
تُرِيْدِيْنَ إِدْرَاكَ المَعَالِي رَخِيْصَةً # فَلَا بُدَّ دُوْنَ الشَّهْدِ مِنْ إِبْرِ النَّحْلِ
Biarkan aku meraih kemuliaan yang belum tergapai. Sulit jika dianggap sulit, tapi mudah bila dirasa mudah. Engkau kerap ingin mendapatkan kemuliaan itu secara murah. Padahal pengambil madu harus merasakan sengatan lebah.

سَتُبْدِيْ لَكَ الأَيَّامُ مَا كُنْتَ جاَهِلاً # وَيَأْتِيْكَ بِاْلأَخْبَارِ مَا لَمْ تُزَوِّدِ
Kelak waktu akan memperlihatkan dirimu sebagai orang yang bodoh, dan membawakan kabar untukmu tentang perbekalan yang kosong.

لَقَدْ غَرَسُوْا حَتَّى أَكَلْناَ وَإِنَّناَ # لَنَغْرَسُوْا حَتَّى يَأْكُلَ النَّاسُ بَعْدَنَا
Para pendahulu telah menanam sehingga kita memakan buahnya. Sekarang kita juga menanam agar generasi mendatang memakan hasilnya.

إِذَا فَاتَنِيْ يَوْمٌ وَلَمْ أَصْطَنِعْ يَدًا # وَلَمْ أَكْتَسِبْ عِلْماً فَمَاذَاكَ مِنْ عُمْرِيْ
Tatkala waktuku habis tanpa karya dan pengetahuan, lantas apa makna umurku ini?


Mahbib Khoiron
Dikutip dan diterjemah ulang dari
KH A Wahid Hasjim, Mengapa Saya Memilih Nahdlatul Ulama, Bandung: Mizan, 2011


 

Kamis, 21 Maret 2013

Wahabi Bertekad Hancurkan Makam Malik al Asytar, sahabat imam Ali yang diracun Mu’awiyah

Mesir:
Wahabi Bertekad Hancurkan Makam Sahabat Imam Ali as
“Kelompok Wahabi dan Salafi atas seruan pemimpin-pemimpinnya hendak menghancurkan makam Malik al Asytar, namun berkat penjagaan penduduk setempat, cita-cita mereka tidak tercapai.”
 
 Wahabi Bertekad Hancurkan Makam Sahabat Imam Ali as
sekelompok orang yang terpengaruh paham Wahabisme di Mesir nekat hendak merusak makam Malik al Asytar sahabat terdekat Imam Ali as di kawasan Al Marg bagian utara Kairo, timur laut Mesir.
Muhammad al Darini seorang tokoh syiah mengatakan, “Kelompok Wahabi dan Salafi atas seruan pemimpin-pemimpinnya hendak menghancurkan makam Malik al Asytar, namun berkat penjagaan penduduk setempat, cita-cita mereka tidak tercapai.”
“Mereka telah berkali-kali meminta kepada pihak kepolisian untuk memberikan penjagaan ketat terhadap makam tersebut dan menangkap pihak-pihak yang hendak merusak makam bersejarah tersebut namun polisi tidak juga mengindahkan permintaan mereka. Akhirnya masyarakat setempat yang secara swadaya menjaga dan melindugi makam sahabat mulia Imam Ali as tersebut.” Lanjutnya.
Malik Al Asytar
Malik Al-Asytar : مالك الأشتر adalah salah satu sahabat paling setia Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi Muhammad. Al-Asytar menjadi seorang Muslim selama waktu Muhammad dan menjadi terkenal selama kekhalifahan Utsman dan Ali. Selama keKhalifahan Ali ia berjuang dalam Pertempuran Jamal dan Shiffin selama masa Fitnah pertama dalam pertahanan Islam Ia diakui untuk pembelaannya yang kukuh dan tabah terhadap Islam dalam pertempuran serta sifat saleh. Sebutan “Al-Asytar” adalah bahasa Arab yang berarti potong, tersayat atau robek. Ia mendapatkan gelar “Al-Asytar” dari bekas luka pertempuran yang ia terima pada kelopak mata bawahnya selama Pertempuran Yarmouk.Pembelaan terhadap kekhalifahan Ali
Salah satu pejuang tangguh pada masanya, ia tunduk dan patuh kepada Ali melebihi orang lain . Dia ditunjuk Gubernur Mesir pada 658 (38 H) ketika Ali bin Abi Thalib-, khalifah kaum muslimin, setelah perang Siffin telah berakhir . Pada saat itu, Amr bin al-As memiliki 6.000 tentara yang sedang dalam perjalanan, dikirim oleh Gubernur Damaskus, Muāwiyya. Alī diminta untuk mengirimkan bantuan. jenderal Terbaik Alī dan anak dari teman, Malik Al-Asytar, dikirim untuk membela anak tirinya, mantan Gubernur Mesir, Muhammad bin Abu Bakar, karena Alī percaya hanya Malik bisa mengalahkan Muāwiyya dan Amr bin al-As. Muhammad bin Abū Bakar diperintahkan untuk kembali ke ibukota kekhalifahan Alī di Kufah. Namun, Malik meninggal dalam perjalanan ke Mesir. diyakini bahwa Malik diracun oleh Muawiyah I.
Keturunan
Di antara keturunannya adalah keluarga Kalbasi, yang tinggal di Iran dan beberapa hidup di Irak. Salah satu cabang dari keluarga ini menambahkan judul “Ashtari” ke akhir nama keluarga mereka untuk menunjukkan fakta ini.
Di Lebanon, Hamadani (bercabang ke Sabbagh) keluarga juga keturunan langsung yang telah mempertahankan silsilah keluarga ditelusuri kembali ke asal-usul suku Nakha’i. Keluarga Mroueh, setelah menelusuri garis keturunan mereka, juga diyakini sebagai keturunan

MALIK BIN ASYTAR

(Teladan Mulia bagi Pemimpin / Birokrat)
“….. karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” ” (QS. Al-Qashash : 26).
“Janganlah kamu memperhatikan banyaknya shalat dan puasanya. Jangan pula kamu perhatikan banyaknya haji dan kesalehannya. Tetapi perhatikanlah kejujurannya dalam menyampaikan informasi dan menjalankan amanat” (Nabi Muhammad SAW, Bihar al-Anwar 75: 114).
AMANAT KEADILAN MANUSIA…PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa) baru saja mencatat surat ini pada November 2003 dengan nama judul di atasSurat yang ditulis Imam Ali ibn Abi Thalib pada tahun 38 H. dalam pelantikan Malik Asytar sebagai gubernurnya di Mesir. Dokumen ini ditulis oleh seorang yang mendapat julukan dari penulis Kristiani Libanon George Jordac, The Voice of Human Justice, shawth al-‘adalah al-insaniyyah. Siapa Sosok Malik bin Asytar ?
Pada tahun 38 H, khalifah Islam yang keempat Ali bin Abi Thalib mengangkat Malik al-Asytar sebagai Gubernur Mesir. Semula Malik menduduki jabatan gubernur di Nashibin, sebuah daerah kecil yang tidak sekaya Mesir. Imam Ali sangat mencintainya karena keluhuran akhlaknya. Ia sangat taat beribadat, sangat tekun berjihad, dan sangat bersabar menghadapi rakyat. “Kedudukan dia bagiku sama seperti kedudukan aku bagi Nabi Allah SAW,” kata Ali memujinya. Seperti Ali, ia piawai dalam memainkan pedang. Di medan pertempuran, ia bukan saja tidak pernah mundur, tetapi juga tidak pernah kalah. Namanya saja sudah cukup menggentarkan nyali musuh-musuhnya. Dalam kehidupan sehari-hari, seperti Ali, ia bukan saja sabar menghadapi “kenakalan” rakyatnya, tetapi juga sangat cepat memberikan maafnya.
Dengan akhlak yang begitu mulia, Malik segera mendapat kepercayaan Imam Ali. Ia mendapat SK sebagai gubernur dan sekaligus petunjuk administratif menjalankan pemerintahan yang baik, good governance. Inilah dokumen peraturan pemerintah daerah yang pertama dalam Islam.
Muawiyah, yang menegakkan pemerintahannya di atas kezaliman dan perampasan hak rakyat. Ketika mendengar pengangkatan Malik, Muawiyah menyuap seorang kepala daerah untuk menyambut Malik dalam perjalanannya ke Mesir. Dan ia menyambutnya dengan memasukkan racun ke dalam minuman bercampur madu. Malik tidak sempat menjalankan perintah kepala negaranya, karena maut keburu menjemputnya.
Muawiyah gembira mendengar berita itu, ia menyampaikan pidato sukacitanya : “Duhai racun pun telah menjadi tentara Tuhan. Ali bin Abi Thalib punya dua tangan kanan, yang satu Ammar bin Yasir telah dipatahkan di Shiffin. Yang kedua Malik al-Asytar telah kita patahkan sekarang.
Ali tentu saja berduka cita. Ia berkata, “Malik, Siapakah Malik? Sekiranya Malik sebongkah batu, dialah batu yang keras dan padat. Sekiranya ia karang di samudera, ia karang yang perkasa yang tiada taranya. Seakan-akan kematian telah merenggut nyawaku sendiri.
Ali berduka cita, karena bersama kematiannya hilanglah pelaksanaan dari eksperimen pertama pelaksanaan good governance pada pemerintah daerah.
Berikut ini salah satu petikan kisah dari Malik bin Asytar
Matahari sudah semakin tinggi pertanda siang hari telah tiba. Keadaan pasar seperti biasa, dipenuhi oleh orang ramai yang datang silih berganti untuk menyediakan keperluan hidup mereka. Di antara mereka tampak seorang lelaki berpostur tinggi dengan tubuh perkasa yang menarik perhatian banyak orang. Wajahnya terbakar oleh sengatan sinar matahari. Dengan langkah yang pasti, dia memasuki pasar Kufah. Saat itu, salah seorang pedagang pasar yang asyik duduk di depan tokonya, menyadari kedatangan lelaki tersebut. Tiba-tiba muncul niat kotornya untuk membuat rekan-rekannya tertawa dengan melontarkan batu dan tanah ke arah lelaki itu.
Lelaki tersebut memalingkan wajahnya dan memandang ke arah orang yang melontarkan batu kepadanya. Tetapi tanpa merasa tersinggung, dia membiarkan peristiwa itu berlalu dan terus melanjutkan perjalanannya. Rekan si penjual itu bukan saja tidak tertawa menyaksikan perbuatan kawan, bahkan dengan rasa gusar dan gelisah berkata kepadanya, “Tahukah engkau siapa yang engkau permainkan tadi?”
Si penjual tersebut menjawab, “Tidak, aku tidak mengenalnya. Menurutku, dia tidak berbeda dengan ratusan orang lain yang lalu lalang di sini setiap hari di hadapan mata kita. Bukankah begitu?”
Salah seorang dari rekan si penjual itu dengan amat gusar sehingga wajahnya berkerut, berkata, “Hei! Bodoh! Tidakkah engkau mengenalinya? Lelaki yang baru lewat itu adalah Malik Asytar, komandan tentera Islam yang terkenal. Kita banyak berhutang budi kepadanya karena pengorbanan dan keberaniannya di medan perang. Celaka engkau! Tidakkah engkau tahu siapa yang telah engkau permainkan tadi?”
Mendengar nama Malik, si pegadang menggigil ketakutan. Dia sungguh menyesali perbuatannya. Dia bahkan sanggup melakukan apa saja demi menebus kesalahannya. Matanya menjadi gelap. Dia tidak tahu kepada siapa harus mengadu. Dalam hati dia berkata, “Aku telah melakukan perbuatan yang bodoh. Aku telah mempermainkan komandan pasukan Islam. Tentu aku akan dihukumnya”
Si pedagang mengambil keputusan untuk pergi menemui Malik Asytar. Bagaimanapun juga dia akan meminta maaf kepadanya. Dia berlari-lari mencari Malik. Tidak lama kemudian, dia berhasil menemukan Malik yang tengah berjalan di kejauhan. Malik membelokkan langkahnya menuju masjid. Si pedagang itupun dengan hati yang bergoncang hebat menuruti langkah Malik dan masuk ke dalam masjid. Dia tidak berani menghampiri Malik. Panglima perang Islam itu berdiri menunaikan shalat. Si penjual memandang ke arah Malik. Malik Asytar, dengan kekhusyukan penuh melaksanakan ibadahnya. Sayup-sayup terdengar suara merdu Malik yang tengah melaksanakan shalat. Suara itu menenangkan hati si pedagang pasar.
Selepas shalat, Malik berdoa. Tak lama setelah beliau selesai memanjatkan doa, perlahan-lahan si pedagang mendatangi Malik. Dia lantas menjatuhkan diri dan bersimpuh di kaki Malik. Dengan suara bergetar dia berkata, “Wahai Malik Asytar, aku telah melakukan perbuatan yang bodoh. Aku tidak mengenalimu. Aku memohon kepadamu untuk memaafkanku. Demi Allah, aku tidak mengenalimu. Engkau adalah seorang lelaki yang mulia dan terhormat.”
Malik Asytar, dengan perlahan-lahan mengangkat lelaki tersebut dan meletakkan tangannya ke atas bahu orang itu. Si lelaki itu dengan susah-payah menatap mata Malik. Malik Asytar dengan lembut berkata, “Aku bersumpah demi Tuhan, bahwa kedatanganku ke masjid ini adalah karena engkau. Sebab aku tahu bahwa karena kejahilanmu, engkau mengganggu orang tanpa sebab. Aku sedih melihatmu. Aku datang ke masjid ini untuk berdoa buatmu dan aku meminta dari Tuhan supaya memberimu petunjuk ke jalan yang benar dan menjauhkan dirimu dari dosa.”
Mendengar kata-kata Malik dan menyaksikan sendiri sifat pemaaf ksatria Islam ini, dia semakin merasa malu. Dia mengucapkan terima kasih kepada Malik Asytar dan kembali ke tempat kerjanya.
Rekan-rekan si pedagang pasar tidak sabar menantikan kedatangannya. Ketika melihatnya dan mendengar kisah yang dia paparkan, mereka memuji Malik Asytar. Salah seorang dari mereka bahkan membawakan sebuah hadis Rasulullah SAW sebagai berikut, “Ampunilah kesalahan orang lain kerana sikap pengampun menambah kemuliaan orang. Seringlah memaafkan supaya Tuhan memuliakanmu.”
Pelajaran yang dapat kita ambil dari sosok Malik bin Asytar diantaranya bahwa Akhlak mulia adalah sebuah hiasan hidup yang seharusnya melekat pada diri siapapun. Terlebih bagi seorang pemimpin. Baginya, kemuliaan akhlak harus menjadi prasyarat utama dan harus menyertainya sebelum dia memiliki kekuasaan.
Pertama, kesederhanaan tidak mengurangi kemuliaan seseorang. Walaupun Malik Al-Asytar begitu sederhana dalam hidupnya –saat itu terlihat dari pakaiannya yang begitu sederhana–, kehormatan dan kewibawaannya  tetap tumbuh dan terpancar dari prilakunya. Orang tetap hormat dan segan padanya. Orang bersalah akan bergetar jiwanya ketika mendengar namanya disebutkan.  Kewibawaannya merasuk kedalam hati siapapun.
Kedua, sifat pemaaf dan tidak pendendam. Sesungguhnya tindakan pedagang  (yang melempar dengan lumpur itu)  sudah di luar batas yang wajar. Dia telah menghina dan merendahkan seseorang, padahal yang ia rendahkan itu belum ia kenali. Dia menghinanya karena penampilannya yang menjijikkan. Namun apa yang kita saksikan, Malik Al-Asytar tidak merasa terganggu sedikitpun dengan ulah si pedagang itu, malah ia langsung menuju masjid untuk memohonkan ampun secara khusus baginya. Sungguh luar biasa.
Kalau kasus itu –pelemparan dengan tanah lumpur– mengenai kita, boleh jadi  kita akan membalasnya lebih dari itu : mungkin dengan memukulnya, menamparnya  atau mungkin dengan bentuk  kekerasan fisik lainnya. Itu semua dilakukan  sebagai wujud emosional kita kepada yang mencemoohkan. Tapi di luar dugaan,  Malik Al-Asytar  malah memaafkannya dan sekaligus memohonkan ampunan baginya.
Kesalehan Malik rasanya sulit ditemukan pada penguasa atau pemimpin pada  zaman sekarang. Padahal pada saat itu Malik Al-Asytar pun adalah penguasa (tangan kanan Imam Ali), yang dengan kekuasaannya bisa memberikan hukuman kepada siapapun yang menghinanya. Tapi malah kita melihat sesuatu yang sebaliknya, sang penguasa itu malah memaafkannya. Inilah kemuliaan akhlak yang seharusnya dimiliki oleh para pemimpin dan penguasa saat ini.
Ketiga, penghinaan adalah akhlak yang tercela.Sebagai umat manusia tidak boleh menghina atau merendahkan kehormatan seseorang. Masih mending jika penghinaan itu  diakhiri dengan penyesalan dan tobat kepada Allah SWT. Tapi bayangkan sebuah penghinaan yang tidak diakhiri dengan penyesalan dan permohonan maaf kepada yang bersangkutan, ini jelas akan berakibat panjang dan mencelakakan.  Sehubungan dengan ini ada sebuah kisah yang patut direnungkan: “Ketika Rasulullah thawaf mengelilingi Ka’bah, beliau berhenti di Multazam,  beliau berkata, ‘Duhai Ka’bah, betapa mulianya engkau, betapa agungnya engkau, betapa luhurnya engkau’. Tetapi demi Zat yang diriku ada di tangan-Nya, kehormatan seorang muslim lebih tinggi dari kehormatan Ka’bah.” Oleh karena itu di dalam Islam termasuk dosa besar menjatuhkan kehormatan seorang muslim, dosanya lebih besar daripada menjatuhkan kehormatan Ka’bah.
Keempat, materi bukan ukuran kemuliaan akhlak. Harga diri, kemuliaan, kewibawaan, dan kekuasaan sungguh tidak diukur dengan banyaknya materi. Kita melihat banyak contoh dalam sejarah, bahwa kemuliaan dan kebesaran pemimpin Islam tidak disandarkan kepada bergelimangnya kekayaan yang dimiliki. Kita lihat Rasul SAW, Imam Ali kw, dan shahabat lainnya lebih memilih kesederhanaan dan hidup bersama kaum mustadhafin daripada menumpuk kekayaan. Prilaku yang sederhana ini tercermin dari kepribadian  murid Imam Ali itu sendiri, Malik Al-Asytar.
Kelima, keberhasilan seorang guru tercermin dari kesalehan murid-muridnya. Kisah  di atas sesungguhnya sekaligus sedang menceritakan keberhasilan seorang guru (Imam Ali kw) dalam mendidik muridnya. Transfer kesalehan kepada seorang murid bukanlah hal yang mudah, dan tidak mungkin dilakukan oleh seseorang yang tidak memiliki kesalehan itu sendiri. Sesungguhnya, suatu kebohongan yang nyata, apabila  seseorang berbicara kesalehan, ketakwaan dan hal-hal yang baik lainnya, tetapi ia sendiri bukan pelaku ketakwaan itu, atau malah penentang kebaikan.
Ingin rasanya akhlak Malik Al-Asytar hadir di tengah-tengah kita dan mewarnai semua aspek kehidupan  : ekonomi, politik, pendidikan dan lainnya. Saya yakin, bila prilaku itu mewarnai kehidupan ekonomi, akan banyak sumber keuangan negara yang  terselamatkan. Keadilan ekonomi akan segera terwujud. Kesederhanaan selalu menghiasi keseharian para pejabat dan penguasa. Himbauan hidup sederhana bukan sekedar slogan belaka, tetapi betul-betul dimulai oleh para pejabat. Para pejabat tidak lagi membahas persoalan-persoalan kemiskinan dan penderitaan rakyat kecil di hotel berbintang dan mewah dengan menggunakan uang rakyat. Kepentingan rakyat kecil betul-betul menjadi perhatian utama  dalam pembangunan. Para pejabat dan politisi tidak lagi sibuk mengurus kepentingan pribadinya (gaji, fasilitas jabatan dan sebagainya), sebelum kepentingan rakyatnya terperhatikan. Ini rasanya yang sungguh-sungguh diharapkan oleh rakyat kecil. Rasanya mereka tidak terlalu berkepentingan dengan apa yang disebut Tatib, koalisi, Fraksi, Komisi, Legislasi dan sebagainya. Bagi mereka persoalannya sederhana saja, yakni hari ini bisa makan atau tidak? Para politisi seharusnya bisa memberikan jawaban itu semua, karena itu yang sangat dinanti-nanti.
Imam Ali bin Abi Thalib berkata:
“Kejujuran akan menyelamatkan kamu walaupun kamu takut kepadanya dan kebohongan mencelakakan kamu walaupun tenteram karenanya”
MALIK AL ASYTHAR
Ar-Rabadzah adalah nama sebuah gurun di antara Makkah dan Madinah. Daerah adalah daerah yang tandus. Tak ada yang mendiami tempat tersebut. Tetapi pada tahun 30 H, ada sebuah kemah di sana. Di dalam kemah itu terdapat seorang lelaki tua, perempuan tua, dan putrid mereka.Lalu mengapa lelaki tua itu mendiami tempat terpencil di tengah gurun tersebut?
Ia tinggal di sana bukan karena keinginannya, melainkan seorang khalifah (Utsman bin Affan ) telah membuangnya ke sana.
Lelaki tua itu menderita sakit dan istrinya selalu menangis. Ia pun bertanya pada istrinya,” Wahai Ummu Dzar, mengapa kau menangis?” Perempuan tua itu menjawab,” Bagaimana aku tidak menangis, sementara engkau menjelang ajal di tengah gurun ini?”
Lelaki tua itu lalu berkata,” Suatu hari, teman-temanku dan aku duduk bersama Rasulullah saw. Kemudian beliau saw. berkata pada kami,’Salah satu dari kalian akan mati di gurun. Dan sekelompok Mukmin akan menghadiri kematiannya.’ Lalu teman-temanku pulang ke rumah mereka masing-masing. Tak seorang pun yang mengingatnya kecuali aku. Seseorang akan datang dan menolongmu.”
Perempuan tua itu kemudian berkata,” Musim Haji telah usai. Tak ada seorang pun yang akan lewat di gurun ini.”
Lelaki tua itu menjawab,” Jangan khawatir! Naiklah ke bukit dan lihatlah jalan yang biasa di lewati kafilah-kafilah.”
Kemudian perempuan tua itu pun pergi ke atas bukit dan meihat.
Setelah lama ia menunggu, di kejauhan perempuan tua itu melihat kafilah datang menujum ke arahnya.
Perempuan tua itu melambaikan sehelai kain. Para penunggang kuda itu heran dan saling bertanya di antara mereka tentang perempuan tua itu yang sendirian berada di tengah gurun.
Mereka lalu mendekatinya dan bertanya tentang keadaannya. Dan ia pun berkata,” Suamiku aku meninggal. Dan tak ada seorang pun yang ada di sampingnya.”
Mereka bertanya,”Siapa suamimu?”
Sambil menangis, perempan tua itu menjawab,”Abu DZar, sahabat Rasulullah!”
Mereka pun terkejut. Lalu mereka berkata,” Abu Dzar! Sahabat Rasulullah! Mari kita lihat dia!”
Rombongan itu masuk ke kemah. Ketika mereka masuk, mereka melihat Abu Dzar sedang tidur di atas tempat tidurnya. Mereka lalu berkata,”Assalamu ‘alaika, wahai sahabat Rasulullah!”
Abu Dzar menjawab,” Wa’alaikum salaam, siapa anda sekalian?”
Salah seorang dari mereka menjawab,” Malik al Harts al Asythar. Dan beberapa orang bersamaku dari Irak. Kami akan pergi ke Madinah untuk berbicara pada khalifah tentang penganiayaan yang kami alami.”
Abu Dzar lalu berkata,”Wahai saudaraku! Bergembiralah! Rasulullah telah mengatakan padaku bahwa aku akan mati di gurun dan ada beberapa orang Mukmin akan menghadiri kematianku.”
Malik dan kawan-kawannya duduk di dalm kemah Abu Dzar. Malik al Asythar merasa kasihan meliaht keadaan Abu Dzar. Dan ia merasa sedih mendengar bani Umayya telah menganiaya sahabat besar itu.
Al Asythar
Malik bin al Harts al Nakhai adalah salah seorang dari suku tua Yaman. Ia telah memeluk Islam sejak masa NAbi saw. dan ia pun sangat setia dengan keislamannya itu.
Ia mengambil bagian dan bertempur dengan gagah berani dalampertempuran Yarmuk. Ia dengan berani menghadang serangan pasukan Romawi atas pasukan kaum Muslim. Sehingga kelopak matanya robekkarena terbelah pedang musuh. Oleh karena itulah ia dijuluki Al Asytar (yang tergores wajahnya karena pukulan).
Pada tahun 30 H, kaum Muslim Kufah dan kaum Muslim yang ada di kota-kota lain menjadi marah atas perlakuan penguasa-penguasa mereka. Sebagai contoh, Al Walid bin Akabah (saudara Khalifah Utsman), Gubernur Kufah, yang kelakuannya sangat bertentangan dengan Islam. Ia adalah peminum khamar (minuman keras) dan menghabiskan waktunya dengan berfoya-foya.
Suatu hari, ia pernah memasuki masjid dalam keadaan mabuk. Ia melakukan salat empat rakaat pada waktu subuh. Kemudian ia berbalik menghadap orang-orang yang sedang beribadah dan berkata dengan sinis,” Apakah salah jika aku menambah salatku?”
Rakyat merasa tidak senang dengan kelakuannya. Mereka mengkritik di pasar-pasar, rumah-rumah, dan di Masjid-masjid.
Orang-orang bertanya-tanya,” Apakah khalifah tidak menemukan penguasa yang baik untuk menggantikan yang buruk ini ?”
“Ia meminum khamar dengan terang-terangan.”
“Ia melanggar ajaran agama dan hak-hak kaum Muslim.”
Akhirnya, rakyat memutuskan untuk meminta nasihat pada orang-orang bijak. Lalu mereka pun mendatangi Malik al Asytar.
Malik berkata pada mereka,”Kita sebaiknya menasehatinya terlebih dahulu. Bila tidak bisa dinasehati, kita laporkan pada khalifah kelakuan buruknya.”
Malik dan beberapa orang pergi ke istana untuk menghadap al Walid. Ketika mereka sampai di istana, mereka melihat al Walid sedang minum khamar seperti biasanya. Mereka menasihatinya untuk berbuat baik. Tetapi ia justru membentak dan mengusir mereka.
Akhirnya mereka memutuskan untuk pergi ke Madinah untuk menemui khalifah Utsman dan mengatakan padanya tentang masalah ini.
Para utusan itu bertemu dengan khalifah dan melaporkan kelakuan buruk al Walid. Namun saying, Khalifah justru membentak dan mengusir mereka. Bahkan ia pun menolak untuk mendengarkan keluhan mereka. Sehingga mereka menjadi kecewa.
Mereka lalu berpikir untuk menemui Imam Ali bin Abi Thalib, sepupu Nabi Muhammad Saw, karena beliaulah satu-satunya harapan untuk memperbaiki keadaan.
Utusan
Sementara itu, seluruh kaum Muslim mengeluhkan kelakuan buruk para penguasa kotanya.
Para sahabat pergi ke rumah Imam Ali. Mereka mengatakan pada beliau tentang penganiayaan dan korupsiyang dilakukan para penguasa tersebut.
Imam Ali sedih mendengar berita itu. Sehingga beliau pergi ke istana Khalifah. Beliau menemui Utsman dan menasehatinya,” Wahai Utsman, kaum Muslim mengeluh tentang penganiayaan yang dilakukan para penguasa. Dan engkau mengetahuinya dengan baik. Aku telah mendengar Rasulullah saw. bersabda,”Di hari kiamat nanti, penguasa yang zalim akan diseret ke neraka. Dan tak seorang pun yang mendukung atau membebaskannya. Kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka. Ia akan jatuh berputar-putar hingga ia mencapai kerak neraka.”
Utsman berpikir sejenak. Ia menundukkan kepalanya dengan sedih. Ia mengakui kesalahannya. Dan ia berjanji bahwa ia akan bertobat kepada Allah dan memohon maaf pada kaum Muslim.
Imam Ali pergi dan memberi tahukan kabar baik itu pada kaum Muslim. Mereka semua bergembira.
Tetapi arwan, seorang munafik, berkata pada Khalifah,” Engkau sebaiknya mengancam rakyat sehingga tak seorang pun yang berani melawan Khalifah.”
Revolusi
Utsman melanggar janjinya. Ia tidak berkelakuan baik dan tidak mengganti gubernurnya. Pada saat yang sama, ia menggunakan kebijakan keras untuk melawan rakyat. Muawiyah, Gubernur Syam, menyarankan Khalifah agar mengusir para sahabat Nabi Saw.
Khalifah pun membuang Abu Dzar, seorang sahabat besar, ke Rabadzah, di mana ia meninggal di sana. Ia menganiaya Ammar bin Yasir, yang juga seorang sahabat besar.
Khalifah juga mencambuk Abdullah bin Mas’ud. Karenanya, rakyat mengeluhkan keputusan Utsman dan para gubernurnya itu.
Para sahabat Nabi Muhammad saw. mengirim banyak surat ke kaum Muslim yang ada di seluruh kota. Surat-surat itu berbunyi sebagai berikut:” Kaum Muslim, mari bergabung dengan kami. Selamatkan kekhalifahan. Kitabullah (Alquran) dan sunnah Nabi telah diselewengkan. Maka, bergabunglah dengan kami jika kalian beriman kepada Allah dan hari pembalasan.”
Kaum Muslim berduyun-duyun datang ke Madinah dari berbagai penjuru. Malik al Asytar mewakili para pemberontak. Ia mengadakan pertemuan dengan Utsman untuk membahas permasalahan pemerintahan kaum Muslim.
Para pemberontak meminta Utsman untuk menanggalkan kekuasaannya. Tetapi Utsman menolak hal tersebut. Imam Ali mencoba untuk memperbaiki keadaan. Namun, semua usaha beliau sia-sia.
Kaum Muslim tidak senang dengan penganiayaan yang dilakukan Utsman dan para gubernurnya yang zalim itu. Sementara Utsman tetap keras kepala memaksakan keputusannya.
Para pemberontak mengepung istana Utsman. Sehingga Imam Ali meminta kedua putranya, Al Hasan dan Al Husain as, untuk menjaga Utsman.
Para pemberontak memanjat dinding-dinding istana. Mereka menorobos masuk ke dalam ruangan khalifah dan membunuhnya. Sementara itu, Marwan dan kaum munafik lainnyamelarikan diri.
Thalhah dan Zubair berambisi untuk menjadi Khalifah . Sehingga mereka pun membantu pemberontakan. Tetapi rakyat berpikir hanya satu orang yang layak menjadi khalifah. Dan orang itu adalah Imam Ali.
Rakyat berbondong-bondong mendatangi rumah Imam Ali. Mereka meminta beliau menjadi Khalifah. Tetapi Imam Ali menolaknya.
Malik al Asytar dan sahabat-sahabat yang lain tetap mendesak agar Imam Ali menjadi Khalifah. Malik menyeru rakyat dengan bersemangat,”Wahai umat, ini adalah Khalifah Rasulullah. Ia telah belajar ilmu-ilmu Rasulullah. Alquran telah menyebut keimanannya. Rasulullah berkata padanya bahwa ia masuk ke surga Al Ridwan. Kepribadiannya sempurna. Orang-orang dari masa lampau maupun sekarang mengakui tindakan dan pengetahuannya.”
Oleh karena itu, Malik al Asythar adalah orang yang pertama membai’at (menyatakan sumpah setianya kepada) Imam Ali untuk menjadi Khalifah. Kemudia kaum Muslim mengikutinya.
Ketika Imam Ali menjadi Khalifah, babak baru dimulai. Beliau memecat semua penguasa zalim. Sebagai gantinya, beliau menunjuk orang-orang yang saleh.
Perang Jamal
Beberapa orang berambisi menjadi khalifah. Thalhah dan Zubair adalah dua orang diantaranya. Mereka pergi ke Makkah untuk mendesak Aisyah, putrid Abu Bakar, untuk mengadakan pemberontakan guna melawan Imam Ali.
Marwan mengambil keuntungan dari keadaan itu. Ia mulai menggunakan uang kaum Muslim yang ia curi, untuk membentuk pasukan besar. Ia mengumumkan bahwa ia akan membalas dendam pada para pembunuh Utsman.
Pasukan itu menuju Basrah. Mereka tumbangkan gubernurdi daerah itu dan mengusirnya. Mereka pun merampok baitulmal (perbendaharaan harta kaum Muslim).
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib menghadapi pemberontak dengan gigih. Beliau menuju Basrah untuk meminta rakyat di sana berjuang melawan pemberontak itu.
Beliau juga mengutus Al Hasan dan Ammar bin Yasir ke Kufah, meminta rakyat di sana untuk bergabung melawan pemberontak. Namun gubernur Kufah, Abu Musa al Asy’ari, justru mencegah rakyat untuk berjuang dan juga memerintahkan rakyat untuk tidak mematuhi Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Hari-hari berlalu, tetapi Al Hasan dan Ammar bin Yasir belum kembali. Sehingga, Imam Ali kemudian mengirim Malik Asythar untuk menyusul mereka berdua.
Malik Asythar adalah seorang pemberani dan bersemangat tinggi. Ia menyadari bahwa orang-orang Kufah akan selalu mendukung Imam Ali melawan musuh-musuh beliau. Dan ia mengerti bahwa Abu Musa lah yang menghalangi mereka.
Malik Asythar tiba di Kufah dan mulai mengundang rakyat untuk mengikutinya. Sejumlah orang menaatinya. Sehingga ia mulai menyerang istana Gubernur dan membubarkan para pengawal yang ada di sana.
Saat itu, Gubernur Abu Musa al Asy’ari meminta Malik Asythar untuk memberikan waktu beberapa hari baginya untuk meninggalkan Kufah. Malik menyetujuinya. Pada hari yang sama, Malik al Asythar bergegas menuju masjiduntuk mendorong rakyat agar mendukung Imam Ali.
Sehingga akhirnya Malik dapat membentuk pasukan besar. Pasukan itu berjumlah lebih dari 18 ribu orang. Al Hasan memimpin sembilan ribu orang. Mereka bergerak lewat darat. Dan sebagian yang lain bergerak lewat sungai. Tujuannya adalah untuk bergabung dengan pasukan Imam Ali di Dziqar, bagian selatan Irak.
Imam Ali memimpin pasukan bergerak menuju Basrah, dimana beliau berhadapan dengan pasukan Aisyah. Pemimpin pasukan Aisyah adalah Thalhah, Zubair, dan Marwan bin Hakam.
Malik al Asythar memimpin di sayap kanan. Ammar bin Yasir memimpin di sayap kiri. Imam Ali memimpin di tengah pasukan. Dan Muhammad ibnu al Hanafiah, anak Imam Ali, membawa bendera.
Pasuka Aisyah mulai menyerang pasukan Imam Ali. Mereka menghujani pasukan Imam Ali dengan panah. Sehingga beberapa pasukan terbunuh dan sebagian lainnya terluka-luka.
Pasukan Imam Ali ingin mundur satu per satu. Tetapi Imam Ali menghentikan mereka dan berkata,” Siapa yang mau mengambil Alquran ini dan pergi ke mereka untuk menyerukan mereka agar kembali kepadanya?
Seorang pemuda berkata,”Amirul Mukminin, aku akan membawanya.”
Lalu ia memimpin pasukan penunggang unta dengan mengangkat Alquran. Dan Aisyah pun berteriak, “Panah dia!”
Segera pasukan panah menyerangnya. Ia pun jatuh ke tanah dan menjadi syahid.
Saat itu, Amirul Mukminin mengangkat tangannya ke langit. Beliau berdoa pada Allah SWT agar memberikan merek kemenangan. Kemudian beliau pun berkata,” Ya Allah, mata ini memandang-Mu! Dan tangan-tangan ini mengulur (pada-Mu)! Tuhanku, hakimilah umat kami dan kami dengan keadilan! Dan Engkau adalah sebaik-baiknya hakim!”
Kemudian Imam memerintahkan pasukannya untuk melancarkan serangan. Malik al Asythar pun maju. Ia bertempur dengan gagah berani. Pertempuran sengit terjadi di sekitar riuhnya unta.
Imam menyadari bahwa dengan membunuh unta ia dapat mengakhiri pertumpahan darah, itu akan mengakhiri pertempuran antara dua pasukan tersebut.
Sehingga atas perintah Imam, Malik al Asythar segera melancarkan serangan kea rah unta. Ia bertempur dengan gagah berani dan jujur. Ia tidak membunuh mereka yang terluka. Ia tidak memburu mereka yang melarikan diri.
Malik al Asythar meneladani Imam Ali. Ia mencintai Khalifah Rasulullah saw. itu. Imam juga mencintai Malik, karena ia orang yang takut pada Allah. Dan Allah mencintai siapa pun yang takut pada-Nya.
Kemenangan
Setelah pertempuran sengit, pasukan Imam membunuh unta-unta. Sehingga pasukan musuh menjadi lemah semangatnya dan mulai melarika diri dari medan tempur.
Imam memerintahkan pasukannya untuk menghentikan perang. Dan beliau juga memerintahkan pasukannya untuk memperlakukan Aisyah dengan baik dan membawanya kembali ke Madinah.
Imam membebaskan tawanan perang. Imam pun memerintahkan untuk merawat mereka yang terluka. Dan Imam membebaskan mereka semua.
Di Kufah
Setelah beberapa hari tinggal di Basrah, Imam Ali pergi menuju Kufah.
Dalam peperangan, Malik al Asythar bertempur dengan berani layaknya singa. Sehingga musuh-musuh takut padanya. Tetapi pada kesehariannya, ia adalah lelaki miskin. Ia mengenakan pakaian sederhana. Ia berjalan dengan rendah hati. Oleh karena itu, kebnyakan orang tidak mengenalnya.
Suatu hari, Malik al Asythar berjalan di jalanan, dan ada seorang bodoh sedang makan beberapa butir kurma dan melemparkan biji-bijinya.
Malik al Asythar melewati orang bodoh itu. Si bodoh itu lalu melemparkan biji kurma kea rah Malik. Biji kurma itu mengenai punggung Malik. Orang bodoh itu pun menertawainya.
Seorang laki-laki melihat kelakuan orang bodoh itu. Ia lalu berkata padanya,” Apa yang kau lakukan? Tahukah kau siapa laki-laki itu?”
Orang bodoh itu menjawab,” Tidak, Siapa dia?”
Orang itu berkata,” Ia adalah Malik al Asythar!”
Malik melanjutkan perjalanannya. Ia tidak memedulikan orang bodoh itu. Ia ingat bagaimana orang-orang musyrik memperlakukan Nabi Muhammad saw. dengan buruk di Makkah. Mereka melempari Nabi saw. dengan debu dan kotoran, tetapi Nabi saw. tetap diam. Malik pun masuk ke dalam masjid, dan ia mulai memohon kepada Allah SWT.
Laki-laki bodoh tadi segera berlari. Ia masuk kedalam masjid, lalu memeluk Malik seraya meminta maaf dan berkata,” Aku meminta maaf atas kelakuan burukku tadi! Terimalah permintaan maafku ini.” Malik pun menjawab dengan tersenyum,” saudaraku, jangan khawatir. Demi Allah, aku masuk ke masjid ini untuk memohon kepada Allah agar Ia memaafkanmu.
Perang Shiffin
Imam Ali memilih orang-orang saleh untuk menjadi gubernur di kota-kota. Beliau menunjuk Malik al Asythar menjadi Gubernur Mosul, Sinjar, Nasibin, Hit, dan Anat. Itu adalah daerah-daerah di perbatasan Syam.
Muawiyah tidak mematuhi Khalifah Ali. Ia pun menjadi dictator di Syam. Bahkan ia ingin melakukan pemberontakan terhadap Imam Ali dengan dalih menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan.
Imam Ali mencoba menempuh jalan damai. Imam mengajak Muawiyah untuk mematuhi beliau. Imam mengirim beberapa surat kepada Muawiyah. Dan mengirim beberapa utusan untuk berbicara kepadanya. Tetapi, semua usaha Imam Ali sia-sia. Muawiyah tetap ingin melakukan pemberontakan.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi Imam Ali kecuali menghadapi pemberontakan Muawiyah tersebut. Imam Ali lalu membentuk pasukan dan menyerahkan komandonya kepada Malik Asythar.
Pasukan pmaju menuju Syam. Ketika tiba di Kirkisya, terjadilah bentrokan dengan pasuklan Muawiyah yang dipimpin oleh Abi al Awar al Salmi.
Malik al Asythar mencoba membujuk Abi al Awar al Salmi untuk mengakhiri pemberontakan dan mematuhi Amirul Mukminin. Tetap ia menolaknya.
Malam harinya, pasukan Muawiyah mengambil kesempatan dengan melancarkan sebuah serangan mendadak. Tindakan itu bertentangan dengan agama dan etika perang, Karena kedua kubu tersebut sedang dalam perundingan.
Pasukan Imam melawan seranga mendadak itu. Mereka membunuh dan melukai banyak penyerang dan memaksa lainnya untuk mundur ke tempat asal mereka.
Malik al Asythar menunjukkan lagi keberaniannya. Ia mengirim utusan untuk menemui Abi al Awar untuk mengundangnya berduel dengan pedang. Utusan itu berkata,” Wahai Abi al Awar, Malik al Asythar mengundangmu untuk berduel dengannya!”
Pemimpin pasukan Muawiyah itu menjadi takut dan dengan perasaan kecut berkata,” Aku tidak ingin berduel dengannya!”
Muawiyah memimpin sebuah pasukan besar untuk bergabung dengan pasukan Abi al Awar al Salmi. Kedua kubu bertemu di dataran Shiffin di tepi Sungai Eufrat.
Beberapa unit pasukan Muawiyah berhasil menduduki tepi sungai dan mengepung sungai tersebut untuk mencegah pasukan Imam Ali mengambil air.
Tindakan ini juga bertentangan dengan hukum Islam dan hukum perang. Lalu Imam Ali mengutus Sasa’ah bin Suhan, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw., untuk berbicara kepada Muawiyah.
Sasa’ah mendatangi kemah Muawiyah dan berkata,” Hai Muawiyah, Ali berpesan,’Biarkan kami mengambil sedikit air. Lalu kami akan memutuskan selanjutnya antara kalian dan kami. Jika tidak, kalian dan kami akan bertempur hingga si pemenang yang akan minum.”
Muawiyah terdiam sejenak lalu berkata,” Aku akan menjawabnya nanti.”
Utusan Imam Ali pergi. Muawiyah meminta saran dari beberapa orang. Al Walid berkata dengan marah,” Cegah mereka dari meminum air untuk memaksa mereka menyerah.”
Mereka setuju dengan pendapat tersebut. Muawiyah mempekerjakan orang-orang jahat di sekelilingnya . Mereka adalah pelanggar hukum-hukum Islam dan hak asasi manusia.
Malik al Asythar mengamati gerakan pasukan yang ada di tepi sungai. Ia melihat perbekalan pasukan tersebut. Sehingga ia sadar bahwa Muawiyah akan memperketat pengepungan sungai itu.
Tentara Imam menjadi haus. Malik pun demikian. Seorang tentara berkata padanya,” Adam sedikit air dalam tempat minumku, minumlah.” Malik menolaknya dan berkata,” Aku tak akan minum sebelum seluruh pasukanku minum!”
Malik pergi menemui Imam Ali dan berkata,” Amirul Mukminin, pasukan kita kehausan. Tidak ada jalan lagi bagi kita selain bertempur.” Imam menjawab, Baiklah.”
Imam Ali menyampaikan sebuah Khutbahdan mendorong mereka untuk bertempur dengan berani. Ia maju ke tepi sungai Eufrat.
Setelah pertempuran sengit terjadi, Malik dapat menguasai kembali tepi sungai dan memaksa pasukan Muawiyah untuk menarik diri.
Pasukan Muawiyah menjadi jauh dari air. Sehingga mereka pun berpikir untuk membuat tipu muslihat demi menguasai kembali sungai Eufrat tersebut.
Pada hari berikutnya, sebuah anak panah jatuh diantara pasukan Imam. Di panah itu terikat sepucuk surat. Para tentara membaca surat itu dengan hati-hati. Mereka dengan cepat menceritakan pesan itu satu sama lain. Pesan itu berbunyi,” Dari seorang saudara setia di pasukan Syam (pasukan Muawiyah), Muawiyah akan membuka bendungan sungai itu untuk menenggelamkan kalin. Maka, berhati-hatilah!”
Pasukan Imam percaya pada berita itu dan mundur. Sehingga pasukan Syam mengambil kesempatan dari keadaan itu dan merebut kembali tepi sungai .
Namun pasukan Imam kemudian melancarkan serangan dan mengusir pasukan Syam dari daerah itu.
Muawiyah sanagt khawatir, sehingga ia bertanya kepada Amr bin Ash,” Apakah menurutmu Ali akan mencegah kita meminum air?” Amr bin Ash menjawab,” Ali tak akan melakukan apa yang kamu lakukan.”
Pasukan Syam juga merasa khawatir. Namun, segera mereka mendengar bahwa Imam mengizinkan mereka datang ke sungai dan minum air.
Beberapa orang Syam pun menyadari perbedaan kualitas diri Muawiyah dan Imam Ali. Muawiyah melakukan segala cara untuk memenangkan peperangan. Tetapi Imam Ali tidak berpikir untuk melakukan semua itu. Ia melakukan tindakan yang baik, terpuji, dan berperikemanusiaan.
Oleh karena itu, beberapa tentara Syam meninggalkan kubu Muawiyah dengan diam-diam di malam hari. Mereka bergabung dengan pasukan Imam Ali karena kubu Imam Ali selalu mewakili kebenaran dan kemanusiaan.
Muawiyah
Muawiyah merasa tidak senang kepada Malik al Asythar, karena keberaniannya membuat pasukan Imam Ali berperang dengan penuh semangat, dan pada saat yang sama mencemaskan pasukan Syam.
Sehingga Muawiyah memutuskan untuk membunuh Malik al Asythar melalui duel pedang. Ia memerintahkan Marwan untuk berduel dengan Malik. Tetapi Marwan takut pada Malik. Oleh karena itu, ia meminta maaf kepada Muawiyah dan berkata,” Biarlah Amr bin Ash yang berduel dengannya karena ia adalah tangan kananmu.”
Kemudian Muawiyah memerintahkan Amr bin Ash untuk berduel dengan Malik. Amr bin Ash dengan rasa enggan menyetujui rencana Muawiyah tersebut.
Amr lalu memanggil Malik untuk berduel dengannya. Malik maju ke arah Amr bin Ash dengan memegang tombaknya. Malik memukulnya dengan keras tepat pada wajah, sehingga Amr bin Ash pun melarikan diri ketakutan.
Kesyahidan Ammar
Peperangan menjadi bertambah hebat. Ammar memimpin di sayap kiri. Meskipun ia sudah tua, namun ia bertempur dengan gagah berani.
Ketika matahari hampir terbenam, Ammar bin Yasir meminta sedikit makanan untuk berbuka puasa.
Seorang tentara membawakan untuknya secangkir penuh yoghurt (susu asam). Ammar menjadi gembira dan berkata,” Malam ini, aku mungkin syahid karena Rasulullah saw. telah berkata padaku,’Ammar, sekelompok orang zalim akan membunuhmu, dan makanan terakhirmu di dunia adalah secangkir yoghurt.”
Sahabat besar itu pun berbuka puasa dan lalu maju ke medan pertempuran. Ia bertempur dengan gagah berani. Namun akhirnya ia pun jatuh ke tanah dan syahid.
Imam Ali datang dan duduk di dekat kepala Ammar lalu berkata dengan sedih,” Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia menjadi syahid. Semoga Allah merahmati Ammar di hari ia dibangkitkan dari kematian. Wahai Ammar nikmatilah surgamu.”
Kesyahidan Ammar di pertempuran itu sangat mempengaruhi jalannya pertempuran itu sangat mempengaruhi jalannya pertempuran. Pasukan Imam berada dalam semangat yang tinggi. Sementara itu, pasukan Muawiyah justru berada dalam semangat yang rendah.
Semua kaum Muslim menjadi teringat pada sabda Rasulullah saw. kepada Ammar bin Yasir. Hadis itu berbunyi,” Wahai Ammar, kelompok orang-orang zalim akan membunuhmu.”
Sehingga semua menjadi demikian jelas bahwa Muawiyah dan tentaranya adalah salah, sementara Imam Ali dan sahabat-sahabatnya adalah benar.
Oleh karena itu, pasukan Imam Ali semakin meningkatkan serangannya atas pasukan Muawiyah. Muawiyah dan pasukannya bersiap untuk melarikan diri.
Tipuan Baru
Muawiyah berpikir untuk memperdayai pasukan Imam. Sehingga ia pun meminta saran kepada Amr bin Ash. Lalu Amr berkata,” Aku yakin kita dapat menipu mereka dengan Alquran.”
Muawiyah gembira dengan siasat licik itu dan memerintahkan tentaranya untuk mengangkat Alquran dengan tombak-tombak mereka.
Ketika pasukan Imam melihat Alquran , mereka berpikir untuk menghentikan pertempuran. Siasat licik Muawiyah ini berhasil menipu beberapa tentara Imam Ali.
Imam lalu berkata,”Itu adalah tipuan! Akulah yang pertama mengajak mereka pada kitabullah. Dan akulah yang pertama mengimaninya. Meraka tidak mematuhi Allah dan melanggar ketetapan-Nya.
Namun tetap saja 20 ribu tentara Imam tidak mau mematuhi perintah beliau dan berkata,” Hentikan pertempuran dan perintahkan Al Asythar untuk mundur!”
Imam akhirnya mengutus seorang tetara kepada Al Asythar untuk menghentikan pertempuran. Malik Al Asythar pun terpaksa mundur. Ia berkata,” Tidak ada kekuatan dan kekuasaan kecuali milik Allah.
Tahkim
Malik al Asythar mengetahui bahwa tindakan Muawiyah itu hanyalah tipuan. Tetapi ia tetap mematuhi perintah Imam agar tak ada bencana yang terjadi. Ia adalah seorang pemimpin yang pemberani dan prajurit yang patuh.
Pertempuran pun berhenti. Dan kedua kubu menyetujui untuk bertahkim (memutuskan hukum) dengan Kitabullah.
Muawiyah mengirim Amr bin Ash untuk mewakilinya dalam negosiasi itu. Dan Imam memilih seorang yang siaga dan bijaksana. Orang itu juga mesti memiliki pengetahuan yang baik tentang Kitabullah. Sehingga, beliau memilih Abdullah bin Abbas, seorang yang berpengetahuan tinggi tentang agama.
Tetapi kubu pasukan pemberontak yang tidak mematuhi Imam menolaknya dan berkata,” Kami memilih Abu Musa al Asy’ari.”
Imam menjawab,” Aku tidak setuju dengan pilihan kalian. Abdullah bin Abbas lebih baik darinya.”
Sekali lagi para pemberontak itu menolak keputusan Imam. Sehingga, Imam berkata, ” Aku akan memilih Al Asythar.”
Mereka juga menolak Al Asythar. Mereka tetap kukuh memilih Abu Musa al Asy’ari. Akhirnya, demi menghindari terjadinya malapetaka, Imam lalu berkata,” Lakukan apa yang kalian suka!”
Kemudian kedua wakil itu bertemu untuk berbicara. Amr bin Ash berpikir tentang sebuah rencana yang sekiranya dapat diterima oleh al Asy’ari. Amr berkata padanya,” Wahai Abu Musa, Muawiyah dan Ali telah menyebabkan semua kesulitan ini. Sehingga, marilah kita tinggalkan mereka dan memilih orang lain.”
Abu Musa al Asy’ari tidak menyukai Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib. Sehingga, ia pun setuju dengan rencana itu. Ia lalu berkata di depan orang-orang,” Aku melepaskan Ali dari kekhalifahan sebagaimana aku melepaskan cincin dari jariku.” Kemudian ia pun melepaskan cincinnya.
Namun Amr bin Ash justru berkata dengan tegas,” Aku menempatkan Muawiyah pada kekhalifahan sebagaimana aku menempatkan cincin kejariku.” Kemudian ia memakai cincinnya.
Para tentara Imam, yang telah membangkan tadi , menyesali perbuatan mereka yang salah itu. Tetapi mereka tetap berkeras untuk tidak patuh pada Imam. Malah mereka meminta Imam untuk bertaubat kepada Allah (karena mau berdamai dengan Muawiyah) dan melanjutkan peperangan lagi.
Tetapi Imam menghormati janji dan kesepakatan yang telah dibuat. Beliau menyetujui gencatan senjata dengan Muawiyah dan menghentikan peperangan selama setahun.
Imam meminta prajuritnya itu untuk bersabar selama setahun. Tetapi mereka tetap tidak mau patuh pada Imam. Mereka itulah yang disebut kaum Khawarij.
Racun dan Madu
Imam mengutus Malik al Asythar untuk menggantikan posisi Muhammad bin Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir. Imam berkata kepadanya,” Malik, semoga Allah merahmatimu, pergilah ke Mesir. Allah sangat percaya padamu. Berserahdirilah kepada Allah! Gunakan kelembutan pada tempatnya dan kekerasan juga pada tempatnya.”
Malik al Asythar pun segera berangkat ke Mesir.
Muawiyah merasa khawatir dengan kepergian Malik ke Mesir, karena ia tahu bahwa Malik akan dapat menhalangi rencananya untuk menguasai Mesir. Oleh karena itu, Muawiyah merencanakan sebuah cara untuk membunuhnya.
Muawiyah biasa menggunakan racun yang dicampurkan pada madu untuk membunuh musuh-musuhnya. Mawiyah mendapatkan racun tersebut dari Romawi. Orang-orang Romawi mengizinkan Muawiyah membelinya karena mereka tahu bahwa ia menggunakannya untuk membunuh kaum Muslim.
Amr bin Ash berkata pada Muawiyah,” Aku kenal seorang laki-laki yang tinggal di kota Al Qilzim di perbatasan Mesir. Ia memiliki tanah yang luas di sana. Pasti Malik al Asythar akan melewati kota itu dan berhenti di sana untuk beristirahat.
Muawiyah lalu berkata,”Kirim seorang utusan untuk mengatakan padanya agar membunuh Al Asythar dan kita akan membebaskannya dari pajak seumur hidup.”
Utusan Muawiyah dengan segera pergi ke Mesir dengan membawa madu beracun, dan membujuk laki-laki itu untuk meracuni Malik al Asythar.
Kesyahidan
Laki-laki itu setuju dengan rencana Muawiyah. Ia mengambil madu beracun itu, dan menanti kedatangan Malik.
Setelah beberapa hari, Malik tiba di kota Al Qilzim. Laki-laki itu lalu mengundang Malik untuk makan siang di rumahnya. Malik al Asythar menerima undangan itu dengan penuh hormat.
Laki-laki itu segera meletakkan secangkir madu beracun tadi di atas meja. Malik lalu meminum sesendok madu beracun tersebut. Dan seketika ia pun merasakan sakit yang hebat pada perutnya. Ia segera sadar bahwa ada yang merencanakan itu. Lalu ia meletakkan tangannya di atas perut dan berkata,” Dengan Nama Allah, Maha Pengasih, Maha Penyayang. Sungguh kita adalah milik Allah dan kita akan kembali kepada-Nya!”
Malik al Asythar menjemput kematiannya dengan keberanian seorang beriman, yang mengetahui bahwa jalannya adalah Islam dan surga.
Mendengar Malik telah syahid, Muawiyah serasa terbang karena gembira. Sehingga ia berkata,” Ali bin Abi Thalibmempunyai dua tangan. Aku telah memotong satu diantaranya pada perang Shiffin. Ia adalah Ammar bin Yasir. Dan hari ini, aku telah memotong tangannya yang lain. Ia adalah Malik al Asythar.”
Amirul Mukminin merasa sangat sedih. Beliau pun menyatakan perasaan duka citanya,” Semoga Allah merahmati Malik. Ia mencintai dan mematuhiku sebagaimana aku mencintai dan mematuhi Rasulullah.”
Dengan cara seperti itu Malik Al Asythar mengakhiri kehidupannya yang penuh dengan jihad. Kecemerlangan tinkah lakunya akan menjadi teladan bagi para pemuda Muslim di mana pun.
” Aku telah mengirim seorang di antara hamba Allah terberani. Ia lebih kuat dari api dalam melawan kebusukan. Ia adalah Malik bin Harts al Asythar. Ia adalah seorang yang lembut dalam damai. Ia pun seorang yang tenang dalam peperangan. Ia mempunyai pandangan yang nyata dan kesabaran yang baik.” (Imam Ali bin Abi Thalib).[]