Halaman

Senin, 04 Februari 2013

Dinamika Kaum Muda NU ; IPNU dan Tantangan masa Depan

Pertama kali yang terpenting, IPNU-IPPNU harus kembali pada habitat, fitrah dan identitasnya sebagai organisasi yang bergerak di bidang keilmuan, pengabdian dan latihan kepemimpinan untuk masa depan. Inilah habitat IPNU-IPPNU yang sesungguhnya. Mengingat kembali pada Keputusan Kongres XIV IPNU-IPPNU di Asrama Haji Sukolilo Surabaya pada 18-24 Juni 2003 untuk mengembalikan IPNU-IPPNU sebagai organisasi pelajar adalah keputusan yang tepat. Oleh karenanya harus dibangun komitmen untuk menjadikan IPNU-IPPNU sebagai penunjang prestasi ilmiah.

Sebaliknya, jangan beralasan karena aktivitis IPNU-IPPNU, belajar sebagai tugas anak muda justru terkesampingkan. IPNU-IPPNU semestinya menjadi lambang prestasi keilmuan. Untuk itu tugas kita saat ini adalah bagaimana membuat IPNU-IPPNU untuk menjadi komunitas belajar (learning community) yang menunjang bagi proses pengembangan keilmuan. Karena itulah IPNU-IPPNU harus menyediakan perangkat dan sektor keilmuan.

Pengembangan-pengembangan IPNU-IPPNU tidak cukup hanya dengan menggunakan isu-isu ideologis. Jika tema-tema ideologis yang dikedepankan, maka IPNU-IPPNU hanya akan terbatas pada anak-anak NU dan semakin hari semakin menyempit. Hal ini karena tidak semua anak-anak NU masuk IPNU-IPPNU, mungkin tidak minat karena IPNU-IPPNU tidak menjanjikan apa-apa. Keilmuan dapat diklasifikasikan pada dua ranah : yaitu keilmuan disipliner dimana kader IPNU-IPPNU belajar dan sekolah; dan keilmuan keagamaan visioner. Yang disebut terakhir berarti bagaimana agar kader-kader IPNU-IPPNU juga mewarisi cara berfikir keagamaan dan etika Nahdlatul Ulama. Tidak hanya mewarisi format organisasinya.

Hal ini menjadi penting agar tidak terjadi kegagalan-kegagalan sebagaimana organisasi Islam yang hanya berbentuk format kepemimpinan, tetapi ideologinya hilang. Organisasi-organisasi model seperti inilah yang sering melahirkan koruptor. Dengan begitu, maka Islam tidak lagi bisa menjadi filter dari tindakan-tindakan a-moral. Oleh karena itu harus diupayakan bagaimana khasanah pemikiran, pengamalan agama serta tata hubungan agama dengan masyarakat dan negara yang sudah menjadi budaya keagamaan kita, terwariskan secara baik. Kita sadar hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Bahkan NU sendiri belum tentu mampu mewariskan secara baik, karena beberapa faktor. Pertama, pesantren-pesantren yang dijamin berfikir Sunni belum tentu berwawasan luas, sehingga ilmunya menggenang untuk diri sendiri. Oleh karena itu diperlukan ilmu-ilmu suplemen atau ilmu-ilmu bantu untuk mengalirkan ilmu pesantren salafiyah itu. Sekarang anak-anak muda sudah bisa membaca kitab-kitab kuning besar seperti Ihya’ Ulumuddin. Namun mereka tidak bisa bercerita apa-apa tentang kitab itu kepada komunitas lain. Akhirnya hak miliknya menggenang. Kedua, para komentator agama lebih menguasai bibliotik agama dari pada materi agama.

Tulisan-tulisan tentang Al-Ghozali misalnya, sebenarnya adalah komentar, bukan materi agamanya. Jadi, yang punya ilmu tidak bisa memasarkan, dan yang menguasai pasaran tidak punya barang. Kalau kondisi ini berjalan dalam tempo berdekade-dekade, maka imamatul ulama dalam arti ilmiah akan selesai. Bahkan tidak mungkin lagi dari Indonesia tumbuh ulama yang berkaliber internasional, karena alat processing-nya tidak ada. Fenomena ini tidak hanya melanda IPNU-IPPNU, melainkan juga generasi Islam pada ormas yang lain. Keadaan Muhammadiyah lebih berat dari kita dalam hal ini. Hal ini karena Muhamadiyah tidak memiliki alat processing untuk menjamin kemuhammadiyahan generasi selanjutnya. SMP, SMA, Universitas adalah public service dan public utility, bukan rule of ideology. Akhirnya generasi NU dan Muhammadiyah adalah generasi yang sama-sama tidak paham tentang masalah keilmuan agamanya. Dulu, kalau ulama NU dan Muhammadiyah sekalipun berbeda tetapi rukun, seperti Kyai Idham Kholid dengan Bapak Hamka, karena mereka sama-sama mengerti. Tetapi celakanya, sekarang antara NU dan Muhammadiyah juga rukun karena sama-sama tidak mengertinya. Perlu diperhatikan oleh IPNU-IPPNU yang sejak semula dilahirkan untuk cita-cita ini, yaitu bagaimana mewawasankan ilmu salaf yang menggenang dan mengisi intelektual dengan materi agama.

Bukan hanya informasi agama, melainkan juga amaliyyah (pekerjaan) dan karakter (sifat) agama. Selain itu kader IPNU-IPPNU hendaknya sadar bahwa pada era sekarang orang tidak bisa ditarik melalui dogma atau paradigma. Hal ini karena kuatnya sekularisasi keadaan dan pragmatisasi masyarakat – manusia sosial serta membutuhkan ekonomi. Kalau IPNU-IPPNU merekrut anggota dengan sekedar menyodorkan nama, maka hanya anak orang NU yang terjaring. Namun kalau IPNU-IPPNU menyediakan bimbingan belajar yang berkualitas serta berprilaku moral agama yang tekun misalnya, maka akan menarik banyak kalangan pelajar dan orang tua, bahkan bukan hanya pelajar keturunan NU. Melalui pengabdian IPNU-IPPNU akan besar dan sebaliknya dengan kristalisasi dan kontradiksi sosial, IPNU-IPPNU akan semakin kecil. Ini adalah hukum sosiometri (gejala sosiologi yang hampir bisa dipastikan). Semua gerakan radikal tidak pernah bisa besar, karena mainstream mayoritas tidak mungkin diajak radikal. Yang mungkin adalah diperhatikan kepentingan. Karena itulah gerakan radikal akan selalu berubah menjadi gerakan militan. Dan militan pasti minoritas aktif (active minority) bukan silent majority. Kongretnya, IPNU-IPPNU sudah semestinya menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pengabdian yang rohmatan lil alamin.
Itulah jaring untuk merekrut kader muda terpelajar. Banyaknya anak-anak muda NU yang masuk organisasi lain, karena organisasi kepemudaan NU tidak bisa menyajikan pengabdian yang mewadahi. Pengabdian itu bisa berupa pelatihan, orientasi dan lain sebagainya. Melihat kecenderungan seperti ini kita tidak perlu marah, justru harus intropeksi untuk selanjutnya menandinginya dengan tindakan yang lebih baik. Nahdlatul Ulama selalu kalah karena gerakannya by accident, tidak ada yang diselenggarakan by design. Setiap kegiatan dilakukan hanya karena ketepatan-ketepatan. Karena itulah kegiatannya tidak memiliki frame yang jelas. Nah, kalau pengabdian sudah ada, kita mulai meningkat pada latihan kepemimpinan, akan tetapi kita tidak boleh terjebak pada salah satu alur pelatihan tapi juga diperhatihan pelatihan yang mendukung pada pengembangan skil (profesi).

Latihan kepemimpinan ini tidak cukup dengan orientasi kepemimpinan. MAKESTA, LAKMUD, LAKUT dan lain-lain adalah orientasi kepemimpinan, belum menjadi pelatihan kepemimpinan. Setiap pemimpin dicetak melalui latihan. Pelatihan yang dimaksud bisa berarti pelatihan formal yang difasilitasi oleh fasilitator, namun yang jauh lebih penting adalah latihan langsung dengan peran-peran alamiah. Orientasi kepemimpinan tetap diperlukan, tetapi peluang untuk beraksi dengan belajar di lapangan sebagai pemimpin juga harus disediakan. Namun kepemimpinan ini jangan dibatasi pada kepemimpinan NU dan kepemimpinan politik, tapi juga kepemimpinan sosial pada gerakan disipliner atau interdisipliner sesuai dengan habitat keilmuannya masing-masing. Tidak mungkin kader IPNU-IPPNU yang sedemikian banyak akan menjadi pemimpin NU semua. Hal ini bisa dijembatani dengan memberi peluang pada kader IPNU-IPPNU untuk ditempatkan pada kepengurusan NU maupun lembaga-lembaganya di setiap tingkatan, baik cabang, MWC dan ranting.

Peluang ini sudah semestinya diberikan sebagai wahana belajar kepemimpinan yang tidak lagi orientatif, melainkan sudah bersifat aksi. Tidak hanya itu, latihan aksi kepemimpinan ini juga bisa dilakukan dalam kepengurusan partai politik. Hal ini menjadi agenda penting karena IPNU-IPPNU adalah “anak” NU yang paling memungkinkan untuk ditata. Berbeda dengan G.P Ansor yang berangggotakan massa yang sudah tidak lagi berada pada satu level kepemimpinan yang seragam dan level pengetahuan dan pemikiran yang setingkat. Sebagaimana NU, GP Ansor sudah berhadapan dengan real community (Masyarakat riil) yang hitrogen. Sedangkan IPNU-IPPNU terdiri dari kader yang relatif homogen dalam level pemikiran. Dengan level tertentu ini maka IPNU-IPPNU dapat dibentuk untuk melakukan sikap yang sama terhadap sebuah fenomena. Kepemimpinan IPNU-IPPNU yang dimaksud diatas mungkin bisa dalam ranah politik atau dalam ranah disipliner. Jika kita memiliki ketrampilan tertentu dan berada di tempat tertentu, dengan didukung oleh jiwa kepemimpinan, maka kita dapat memimpin di tempat kita masing-masing. Kita tidak saatnya memaksakan diri untuk ngumpul semua di NU atau di partai politik. Karena kekuatan partai adalah kekuatan formalistik, sementara kekuatan masyarakat adalah kekuatan substansialistik. Dengan demikian IPNU-IPPNU akan mempunyai prospek masa depan atau tidak tergantung pada orang lain, melainkan tergantung pada kita. Tugas besar kader IPNU-IPPNU saat ini adalah mencari kembali formulasi gerakan untuk mengembangkan organisasi setelah menentukan pilihan untuk “kembali ke pelajar”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar