Halaman

Senin, 24 Juni 2013

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan
Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.

Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.

Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:

“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”

Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani saat Umat Saling Mengkafirkan
Negeri Baghdad sedang mengalami kekacauan. Umat Islam terpecah belah. Para tokoh Islam menjadikan khutbah Jum’at sebagai ajang untuk saling mengkafirkan. Di saat bersamaan, seorang Abdul Qadir Al-Jailani muda diamanati oleh gurunya, Syekh Abu Sa’ad Al-Muharrimi untuk meneruskan dan mengembangkan madrasah yang telah didirikannya.
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani lalu berpikir bahwa perpecahan di antara umat Islam adalah akar masalah pertama yang harus segera disikapi, ilmu pengetahuan tidak pada posisinya yang benar jika hanya digunakan sebagai dalih untuk saling menyesatkan di antara sesama saudara.

Di tengah kegelisahannya atas keadaan umat Islam pada saat itu, Syekh Abdul Qadir Al-Jailani berniat untuk menemui setiap tokoh dari masing-masing kelompok, niat memersatukan umat Islam tersebut ia lakukan dengan sabar dan istiqomah, meskipun hampir dari setiap orang yang dikunjunginya justru menolak, mengusir, atau bahkan berbalik memusuhinya.

Syekh Abdul Qadir Al-Jailani tetap teguh kepada prinsipnya, bahwa perpecahan Islam di sekitarnya tidak bisa didiamkan, melalui madrasah yang sedang dikembangkannya, dia mulai melakukan penerimaan murid dengan tanpa melihat nama kelompok dan status agama.

Lama kelamaan para tokoh Islam yang secara rutin dan terus menerus ditemuinya mulai tampak suatu perubahan, nasihat-nasihatnya yang lembut dan santun membuat orang yang ditemuinya berbalik untuk berkunjung ke madrasah yang diasuhnya, padahal usia mereka 40 tahun lebih tua dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani.

Hasil yang mewujud itu belum memberikan kepuasan bagi sosok yang kelak dikenal sebagai Sultonul Awliya –raja para wali- ini, dikarenakan permusuhan antar sesama kelompok Islam pada saat itu masih berlangsung, hingga pada suatu ketika, beberapa tokoh Islam sengaja ia kumpulkan di sebuah majlis madrasah tersebut, kemudian dia berkata:

“Kalian ber-Tuhan satu, bernabi satu, berkitab satu, berkeyaknan satu, tapi kenapa dalam berkehidupan kalian bercerai-berai? Ini menunjukkan bahwa hati memang tak mudah menghadap kepada Tuhan,”

Sontak seluruh tamu saling merasa bersalah, kemudian saling meminta maaf, dan persatuan umat Islam yang dicita-citakan salah satu tokoh besar Islam ini benar-benar terwujud.

Minggu, 23 Juni 2013

Kala Seorang Syekh Cemburu pada Tuhannya

Kala Seorang Syekh Cemburu pada Tuhannya
Syekh Abu Utsman Sai’d bin Ismail al-Hirri, seorang ulama sufi asal Naisabur, pernah memergoki seorang pemuda mabuk dalam sebuah perjalanan. Bersama kecapinya, pemuda nakal ini berjalan sempoyongan menyusuri jalanan.

Tahu bahwa Abu Utsman sedang menyaksikan tingkahnya, si pemuda segera merapikan rambut dan menyembunyikan kecapi kesayangannya. Entah karena khawatir akan berurusan dengan pihak berwajib atau sekadar rasa segan.

Abu Utsman segera menghampirinya. Pribadinya yang santun dan rendah hati menghapus segala rasa curiga dan takut pemuda mabuk itu. Abu Utsman menegaskan bahwa di antara mereka berdua adalah saudara.
Singkat cerita, si pemuda pun memutuskan hidup secara baru. Ia menyesali perbuatan masa lalunya dan menapaki jalan kebenaran sebagai murid Syekh Abu Utsman. Tobat si pemuda disambut Abu Utsman dengan memintanya mandi dan memberinya pakaian.

“Ya Allah, aku sudah melaksanakan kewajibanku. Selebihnya adalah urusan-Mu,” Abu Utsman bermunajat.
Abu Utsman betul-betul tak menyangka, sejenak kemudian, muridnya itu mendapat pengalaman mistik luar biasa. Suatu peristiwa rohani yang tak pernah ia alami sebelumnya. Sore harinya ia mengadu ke Syekh Abu Utsman al-Maghribi.

“Wahai Syekh, hatiku tengah terbakar api cemburu. Yang selama hidup kudambakan telah dilimpahkan kepada pemuda yang masih mengeluarkan bau anggur dari dalam perutnya ini. Maka kini aku pun mengerti bahwa manusia mampu berusaha tetapi Tuhan yang menentukan.”

Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani

Hikmah

Detik-detik Wafatnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
Jasadnya memang sudah terkubur lebih dari delapan abad. Namun nama dan tauladan hidupnya tetap membekas kuat di kalangan umat Islam. Dialah Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ulama sufi kelahiran Persia yang kemasyhurannya setingkat dunia.

Syekh Abdul Qadir terkenal sebagai pribadi yang teguh dalam berprinsip, sang pencari sejati, dan penyuara kebenaran kepada siapapun, dan dengan risiko apapun. Usianya dihabiskan untuk menekuni jalan tasawuf, hingga ia mengalami pengalaman spiritual dahsyat yang mempengaruhi keseluruhan hidupnya. Jejak Syekh
Abdul Qadir juga dijumpai dalam belasan karya orisinalnya.

Selain mewarisi banyak karya tulisan, Syekh Abdul Qadir meninggalkan beberapa buah nasehat menjelang kewafatannya. Akhir hayat Syekh didahului dengan kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kala itu putra-putranya menghampiri dan mengajukan sejumlah pertanyaan.

”Berilah aku wasiat, wahai ayahku. Apa yang harus aku kerjakan sepergian ayah nanti?” tanya putra sulungnya, Abdul Wahab.

”Engkau harus senantiasa bertaqwa kepada Allah. Jangan takut kepada siapapun, kecuali Allah. Setiap kebutuhan mintalah kepada-Nya. Jangan berpegang selain kepada tali-Nya. Carilah segalanya dari Allah,” jawab sang ayah.

”Aku diumpamakan seperti batang yang tanpa kulit,” sambung Syekh Abdul Qadir. ”Menjauhlah kalian dari sisiku sebab yang bersamamu itu hanyalah tubuh lahiriah saja, sementara selain kalian, aku bersama dengan batinku.”

Putra lainnya, Abdul Azis, bertanya tentang keadaannya. ”Jangan bertanya tentang apapun dan siapapun kepadaku. Aku sedang kembali dalam ilmu Allah,” sahut Syekh Abdul Qadir.

Ketika ditanya Abdul Jabar, putranya yang lain, ”Apakah yang dapat ayahanda rasakan dari tubuh ayahanda?” Syekh Abdul Qadir menjawab, ”Seluruh anggota tubuhku terasa sakit kecuali hatiku.
Bagaimana ia dapat sakit, sedang ia benar-benar bersama dengan Allah.”

”Mintalah tolong Kepada Tuhan yang tiada tuhan yang wajib disembah kecuali Dia. Dialah Dzat yang hidup, tidak akan mati, tidak pernah takut karena kehilangannya.” Kematian pun segera menghampiri Syekh Abdul Qadir.

Syekh Abdul Qadir al-Jainlani menghembuskan nafas terakhir di Baghdad, Sabtu bakda maghrib, 9 Rabiul Akhir 561 H atau 15 Januari 1166 M, pada usia 89 tahun. Dunia berduka atas kepulangannya, tapi generasi penerus hingga sekarang tetap setia melanjutkan ajaran dan perjuangannya.

Senin, 10 Juni 2013

Hubungan Tarekat dengan Merah Putih

Hubungan Tarekat dengan Merah Putih

Hubungannya gerakan Tarekat dengan Merah Putih yang menjadi cikal bakal bendera Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat dilihat dari budaya mengibarkan merah putih atau membalut merah putih pada bagian atap rumah atau suhunan yag sering disebut juga dengan istilah bubungan.

Istilah suhunan dalam bahasa Indonesia sering kehilangan hu, menjadi Sunan. Para Wali juga bergelar Sunan atau Suhunan. Dengan bertolak dari Hadist Rosullullah saw. :“Innallaha zawaaliyal ardha masyariqahaa wa magharibahaa, wa’athaniil kanzainil ahmara wa abyadha- sesunguhnya Allah memperlihatkan bumi kepada timur dan baratnya. Allah memberi dua perbendaharaan kepadaku merah dan putih.” (HR. Muslim).

Bertolak dari ajaran ini, betapa besarnya makna dari merah putih. Sehingga dibudayakan di tengah rakyat agar setiap pembangunan rumah diajarkan untuk membalut bagian kerangka atapnya atau suhunannya dengan kain warna merah putih atau dikibarkan bendera merah putih. Dan juga dalam kegiatan selamatan terutama pada peringantan hari besar Islam menggunakan simbolisasi warna merah putih, meskipun hanya pada pewarnaan bubur.
Sumber : TQN Sejarah, Asal-Usul, dan Perkembangannya (Ponpes Suryalaya)

Ketika Gus Dur Salah Jalan

HUMOR

Ketika Gus Dur Salah Jalan
Saat berada Kudus, Jawa Tengah, budayawan Ahmad Sobari kepada wartawan mengisahkan dirinya pada waktu menemani Gus Dur menghadiri sebuah kegiatan. Sudah menjadi kegemaran Gus Dur, setiap kali  kunjungan ke daerah selalu menyempatkan berziarah ke makam tokoh maupun ulama setempat.
Pada masa Orde Baru, cerita Kang Sobari, Gus Dur sedang berkunjung sebuah daerah. Di tengah perjalanan, tanpa ada yang membisiki  tiba-tiba Gus Dur menyuruh sopir menghentikan mobilnya.

“Mau kemana Gus?” tanya sang sopir.

“Di daerah ini terdapat makam ulama besar, saya pingin berziarah ke sana,” jawab Gus Dur sambil 
menyuruh sopir berbelok arah menuju makam yang dimaksud.

Ketika sudah menempuh beberapa jam makam yang dimaksudkan tidak tampak di depan mata.

“Gus, mungkin kita salah jalan, disini tidak  terlihat (ada) makam,” tanya Kang Sobari.

“Coba maju  sebelah sana,” jawab Gus Dur menyuruh sopirnya.

Mobil pun melaju perlahan menuju arah yang ditunjukkan Gus Dur. Tetapi mereka belum juga menemukan makam yang dimaksud.

“Masih nggak ada (makam) Gus!” kata Kang Sobari.
Sambil tersenyum, Gus Dur pun berseloroh, “Oh ya sudah. Barangkali jalannya sudah dirubah oleh Orde Baru.”

Kang Sobari dan sopir-pun hanya bisa tersenyum mendengar jawaban Gus Dur dengan canda.

Selasa, 04 Juni 2013

Tepis Bid’ah ala Habib Umar

Tepis Bid’ah ala Habib Umar
Bagi ulama asal Semarang Habib umar Muthohar,  didebat kelompok yang menuding amalan Aswaja itu bid’ah dan syirik adalah hal  biasa. Habib sering menjawab dengan alasan sederhana dan penuh canda.
Bahkan setiap mengisi pengajian, Habib memberi contoh cerita jawaban debatan orang Wahabi

“Bib, emange orang mati ditahlilkan dido’akan  bisa nyampai?” tanya orang wahabi itu.

“Ya jelas sampai,” jawabnya.

“Kok bisa?” tanya balik orang tadi

“Buktinya, selama ini saya tahlilan untuk orang mati, tidak pernah dikembalikan oleh malaikat. berarti kan
nyampai.!”jawab Habib sambil guyon. Orang tadi hanya diam.

Begitu pula saat ditanya,orang dzikir kok pakai gedek (geleng kekiri –kekanan). Habib dengan enteng menjawab.

”Lha gedek-gedek dewe kok gak boleh,emange masalah buat Loe?. Kalo berdzikir sambil melempari
orang, sampeyan baru boleh mempermasalahkan.” tepis Habib.

Orang tadi tidak bisa berkutik,lagi-lagi terdiam.

Setelah Tentara Menempeleng Sufi

Setelah Tentara Menempeleng Sufi
Sejarah ulama-ulama sufi ternama periode klasik menyimpan dengan baik nama Syekh Abu Ishaq Ibrahim bin Adham. Kepribadiannya dipuji banyak kalangan lantaran sikap zuhud dan tawaduknya.
Siapa tak takjub, ketika jabatan elit sebagai Raja Balkh (Iran) ia tinggalkan demi kehidupan serba sederhana di jalan tasawuf. Kisah Syekh Ibrahim bin Adham sering terekam dalam sumber-sumber Arab dan Persia, seperti Imam Bukhari dan lainnya., sebagai tokoh sufi yang pernah bertemu dengan Nabi Khidzir.

Salah satu inspirasi yang dapat ditimba dari Syekh Ibrahim bin Adham adalah peristiwa di gurun pasir yang lapang. Dalam sebuah perjalanan, Syekh Ibrahim mendadak dihampiri seorang tentara berwatak kasar.

”Dimana kampung yang paling damai?” tanya tentara itu.

Syekh Ibrahim menjawab dengan isyarat telunjuk yang mengarah ke lokasi pemakaman. Tak puas dengan jawaban ini, si tentara pun menghantamkan kepalan tangannya tepat ke arah kepala Syekh Ibrahim. Aksi tentara itu berhenti setelah mengetahui bahwa yang ia pukul adalah Syekh Abu Ishaq Ibrahim bin Adham, tokoh sufi dari Khurasan.

”Maafkan kekhilafan saya, wahai Syekh.”

”Saat kamu memukulku, aku berdoa kepada Allah agar memasukanmu kedalam surga,”

“Mengapa?”

”Aku tahu bahwa aku akan memperoleh pahala karena pukulanmu. Aku tidak ingin nasibku menjadi baik dengan kerugianmu, dan perhitungan amalmu menjadi buruk karena diriku.”

Akhlak Syekh Ibrahim bin Adham seketika melelehkan hati batu si tentara. Cara Syekh Ibrahim menasihati dan ketulusannya menerima risiko menyadarkannya untuk lebih serius dalam mencari kebenaran.

Mimpi Para Sahabat soal Nasib Umar di Kuburan

Mimpi Para Sahabat soal Nasib Umar di Kuburan
Setelah Sayyidina Umar bin Khattab wafat, para sahabat berjumpa khalifah ketiga ini melalui mimpi. Mereka pun bertanya, ”Bagaimana Allah memperlakukanmu?”
Dalam al-Aqthaf ad-Diniyah dikisahkan Umar menjawab bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan-kekeliruannya dan membebaskan siksa dari dirinya. Para sahabat menyahut dengan pertanyaan susulan.
”Apa penyebabnya? Apakah karena kedermawanan, keadilan, atau kezuhudanmu?”

Umar menimbalinya dengan mengisahkan peristiwa di kuburan. Sejenak usai ia dimakamkan, dua malaikat menghampirinya. Umar dalam perasaan takut luar biasa. Nalarnya hilang. Sebelum malaikat bertanya, suara
tanpa rupa terdengar.

”Tinggalkan hamba-Ku itu. Jangan bertanya apapun kepadanya (Umar). Jangan dibuat takut. Aku mengasihi dan membebaskan siksa darinya. Tatkala di dunia, ia pernah berbelaskasihan kepada seekor burung emprit.”

Benar. Kisah burung emprit bermula ketika Umar tengah berjalan menuju alun-alun kota dan  berjumpa anak kecil. Hati Umar sedih. Bocah itu terlihat sedang memagang burung emprit sembari memperlakukannya selayak mainan.

Umar tergerak untuk segera membeli binatang malang itu. Sekarang burung emprit sepenuhnya menjadi milik Umar. Untuk menyelamatkannya dari perlakuan buruk si bocah, khalifah ketiga ini pun mengikhlaskan burung emprit terbang ke ke udara dengan merdeka.

Hal ini membuktikan bahwa ajaran Rasulullah SAW telah menancap kuat di hati dan perilaku Umar. Meski sering tampil garang, sahabat Nabi berjuluk ”Singa Padang Pasir” itu tetap menunjukkan kelembutan hatinya.

Pesan lain yang bisa ditangkap bahwa cakupan cinta kasih bersifat tanpa batas. Kepada pohon, sungai, tanah, makanan, pakaian, buku, burung, anjing, dan seterusnya. Terlebih manusia. Ini selaras dengan hadits riwayat Abdullah bin Umar.

”Orang-orang yang berbelaskasih akan mendapatkan belas kasih dari Yang Maha Pengasih. Berbelaskasihlah kepada tiap makhluk di bumi, niscaya ’penduduk langit’ mengasihimu.”