Halaman

Senin, 11 Februari 2013

NU bukan Organisasi Politik





Pada tanggal 17 Februari nanti Banyumas ada hajatan besar yaitu pemilihan bupati, sadar atau tidak warga NU terpecah dikarenakan beda pasangan calon yang mereka dukung tenyata kegalauan ini tidak hanya di rasakan saya. Ternyata di Banyumas berdiri " Forum Komunitas Galau Muda Nahdlatul Ulama " ( FKGMNU ).

Seperti yang dilansir dalam surat kabar Radar Banyumas edisi sabtu 9 Februari 2013, koordinator FKGMNU Banyumas Mahbub Wibowo menyatakan surat terbuka tersebut dilatar belakangi oleh kegalauan generasi NU atas keprihatinan terhadap NU yang mengalami perpecahan gara-gara Pilkada 2013-2018. Surat tersebut mereka kirimkan setelah membaca sejumlah media masa, dimana ada dukungan yang diberikan kepada paslon. " Warga NU sudah diombang-ambingkan, mendekati pilkada banyumas. NU bermain diranah politik praktis ".jelas Mahbub.

Dia dan Rekannya berharap agar petinggi NU dapat benar-benar kembali dan memperjuangkan NU sebagai Organisasi kemasyarakatan, kebangsaan, dan keumatan. pasalnya sudah jelas, NU BUKAN ORGANISASI POLITIK.

Berikut saya lampirkan pernyataan dan hasil rekomendasi Muktamar NU yang menolak NU dijadikan Organisasi politik :

Nahdlatul Ulama pada awal didirikannya, dimaksudkan menjadi gerakan sosial keagamaan yang memberi perhatian terhadap masyarakat kecil dan kemandirian Pesantren. Khittah Nahdlatul Ulama yang kembali diteguhkan pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-27 di Situbondo, sebagai gerakan sosial keagamaan, akhir-akhir ini mengalami penumpulan dan pendangkalan gerak dan moral, sehingga peran Nahdlatul Ulama menjadi kurang berarti di level akar rumput masyarakat Nahdlatul Ulama sendiri dan di tengah kebangsaan Indonesia.

Faktanya, mulai terjadi sisnisme terhadap Nahdlatul Ulama, justru oleh para warga Nahdlatul Ulama yang disebabkan oleh elit-elit dan organisasi Nahdlatul Ulama yang tidak mengurusi masalah-masalah riil masyarakat, dan cenderung berfungsi untuk meraih jabatan politik kekuasaan yang sesaat. Mempertimbangkan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai kebangkitan para ulama di dalam masyarakat dan kebangsaan Indonesia, maka kebangkitan yang dipelopori ulama perlu menampakkan watak: keulamaan yang konsen dengan masyarakat dan rakyat bawah; dan konsen terhadap masalah-masalah kebangsaan; bukan membawa Nahdlatul Ulama ke kancah politik praktis. Peran ini penting, karena tantangan globalisasi dan fundanmentalisme islam dari kelompok-kelompok tertentu menambah gerak organisasi ulama yang bernama Nahdlatul Ulama semakin limbung.
Dalam situasi tantangan yang demikian, kondisi kepemimpinan gerakan dan kebangkitan ulama, yang ada di Nahdlatul Ulama saat ini cenderung terjadi dualisme antara kepemimpinan syuriyah dan tanfidziyah, di samping diseret-seret ke dalam politik praktis. Syuriyah yang dalam aturannya sebagai pemimpin tertinggi di Nahdlatul Ulama, ternyata dalam praktiknya tidak demikian. Hal ini tampak dalam pernyataan-pernyatan Rais ‘Am syuriyah Nahdlatul Ulama akhir-akhir ini, yang merasa nasehat dan pernyataannya tidak digubris oleh otoritas tanfidziyah, termasuk ketika merespon soal pendulum Nahdlatul Ulama yang tergerus oleh praktik-praktik politik praktis. Dualisme itu juga menunjukkan lemahnya Rais Am dalam mengawal khittah Nahdlatul Ulama.
Berkaitan dengan hal itu, halaqah nasional warga Nahdlatul Ulama dengan tema “Menyongsong Muktamar Nahdlatul Ulama ke-32, Menata Masa Depan Nahdlatul Ulama” di PP. Khatulistiwa, Kempek, Cirebon, merekomendasikan:
1. Tentang masalah-masalah Nahdlatul Ulama dan kebangsaan
  • Nahdlatul Ulama perlu meneguhkan kembali untuk khidhmah di jalur gerakan sosial keagamaan sebagai ruh gerakan yang dirumuskan dalam khittah Nahdlatul Ulama, serta menolak Nahdlatul Ulama difungsikan untuk meraih jabatan-jabatan kekuasaan dan politik praktis.
  • Perlunya Nahdlatul Ulama konsen dan komitmen terhadap masalah-masalah kerakyatan yang riil di masyakat, mulai persoalan pertanian, ekonomi, kebudayan, perburuhan, dan sejenisnya.
2. Tentang Kepemimpinan Nahdlatul Ulama
  • Perlunya Nahdlatul Ulama, digerakkan oleh kepemimpinan yang berkarakter dan tegas dalam menegakkan khittah Nahdlatul Ulama dan supremasi syuriyah.
  • Dualisme kepemimpinan Nahdlatul Ulama akan terus terjadi manakala tanfidizyah dan syuriyah dipilih langsung oleh muktamirin. Muktamirin sebaiknya hanya memilih langsung Rais ‘Am Syuriyah (dan dewan kolektif Syuriyah), dan ketua tanfidziyah atas usulan muktamirin, dipilih oleh dewan kolektif syuriyah.
  • Kriteria Rais ‘Am Syuriyah yang diusulkan: tidak merangkap di organisasi lain; anggota Nahdlatul Ulama; menandatangani kontrak jam’iyah dihadapan muktamirin untuk memperjuangkan dan meneguhkan khittah Nahdlatul Ulama dan tidak akan terlibat di dalam politik praktis; dan mengetahui ilmu-ilmu pesantren, wara’, dan aliman di dalam masalah-masalah kemanusiaan dan akhirat.
3. Tentang Muktamar NU di Makassar
  • Muktamar Nahdlatul Ulama di Makassar jangan dikotori dengan praktik money politics yang justru akan merusak sendi-sendi moral Nahdlatul Ulama.
  • Warga Nahdlatul Ulama dimohon untuk segera melakukan penjaringan nama-nama yang mempunyai kredibilitas dan tidak memiliki rekam jejak yang buruk untuk memimpin Nahdlatul Ulama di masa yang akan datang.
Cirebon, 7 Agustus 2009
Di PP Khatulistiwa kempek Cirebon Jawa Barat
An. peserta Halaqah Warga Nahdlatul Ulama:
[Dr. Rumadi (Jepara), Dr. Abd. Moqsith Ghazali (Jakarta), Nur Khalik Ridwan (DIY), Imdadun Rahmat (Jakarta), Yusuf Tanthawi (NTB), KH. Maman Imanul Haq (Majalengka), Dodo Widarda, MA. (Sumedang), Nuruzzaman (Cirebon), Nuruzaman Amin (Nganjuk, Jatim), Wari (Subang), dan lain-lain.]

Sumber NU online dan Nukhittah 26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar